Blogger Widgets
Minggu, 05 Januari 2014

Media Pembelajaran IPA

Media Pembelajaran IPA dengan Menggunakan PowerPoint. Download Disini
Read more ...

Pengangguran

Pengangguran

Istilah pengangguran dalam bahasa Belanda memiliki tiga arti. Dalam kamus M.J. Koenen’s  (Koenens; 1923) dinyatakan sebagai berikut:
1. Werkeloos. Istilah ini diperuntukkan bagi pensiunan pegawai negeri yang meskipun tanpa bekerja setiap bulannya dapat menerima uang pension, bahkan juga mendapat kenaikan uang pension sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Werkloos. Istilah ini diperuntukkan bagi penduduk di daerah dingin, pada musim winter mereka tidak perlu bekerja, dan kebutuhan hidup sehari-hari telah mereka persiapakan pada hari-hari menjelang winter dating.
3.  Werkloze. Istilah ini diperuntukkan bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan, tetapi tanpa/belum memperoleh pekerjaan.
Sementara, orang beranggapan bila seseorang tidak menjadi pegawai negeri sipil/ABRI, mersa belum bekerja atau menyebut dirinya pengangguran. Padahal, sebenarnya bekerja sebagai pegawai negeri/swasta, pedagang besar/kecil/bakul, buruh, dan sebagainya,bila telah memiliki penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya, sesungguhnya ia bukan pengangguran, dalam hal ini termasuk pemulung, pengamen, pengemis, dan sebagainya.
Penganggur yang sering menjadi masalah sosial adalah mereka yang enggan bekerja atau kurang gigih berusaha, bahkan tidak mau berusaha atau bersusah payah. Karenanya, menjadikan orang tersebut sebagai parasit masyarakat,parasit keluarga, parasit orang tua, atau parasit saudaranya. Untuk itu, agar mereka tidak berlarut-larut menjadi pengganggu masyarakat, tugas masyarakatlah untuk mendekati dan membinanya agar mau mencoba berusaha dan bekerja apapun asalkan halal untuk dapat menghasilkan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil usahanya sendiri. Misalnya, dengan memberikan pengertian dan perlunya pendidikan wiraswasta. Hal ini dimantapkan dengan semboyan “bila ada kemauan, pasti ada jalan” (Gunawan, 2000: 73-74).
Fenomena pengangguran di Indonesia memang cukup memprihatinkan. Sekarang, kita tidak bisa lagi memakai alasan pendidikan kurang tinggi menjadi penyebab utama seseorang itu menganggur atau tidak bekerja karena ijazahnya tidak bisa diterima di perusahaan maupun institusi negara. Sekarang ini, sudah ada istilah pengangguran intelektual yang jumlahnya tidak sedikit. Jadi, sudah banyak dari pemuda-pemuda kita yang sekolah sudah tinggi, bergelar sarjana, tapi tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Bahkan fenomena tersebiut semakin meningkat, yaitu tidak sedikit kalangan intelektual pascasarjana (S2) yang masih bingung mencari kerja. Kita tentunya heran karena kalangan intelektual seharusnya sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk membantu mengatasi persoalan sosial dan persoalan kebangsaan tersebut, tapi faktanya mereka justru ikut mempersempit peluang kerja, ikut menjadi persoalan sosial tersebut.
Dari data survey tenaga kerja nasional tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), mengungkapkan, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta orang atau sekitar 22,2 persen adalah pengangguran. Menurut  Aditia Sudarto, seorang konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) Daya Dimensi Indonesia, kondisi tersebut lebih mengkhawatirkan lagi, tingkat pengangguran terbuka itu di dominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka 2 juta orang. Merekalah yang kerap disebut dengan “pengangguran akademik”.
Konsep pengangguran yang digunakan adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang sudah mendapatkan pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengagguran terbuka (open unemployment).

Dari narasi berbagai fakta fenomena pengagguran nasional di atas, penanganan atas persoalan tersebut perlu kerja sama antara pihak sekolah dan masyarakat luas. Pihak sekolah dapat melakukannya dengan mengadakan dan meningkatkan program pembelajaran ilmu keterampilan, penguatan kurikulum pendidikan karakter, kemandirian, dan penguatan mental. Pihak sekolah juga bisa mengadakan kerja sama dengan masyarakat, khususnya dengan pihak kalangan pedagang, pengusaha yang memiliki perusahaan, atau pabrik untuk bisa melakukan pelatihan kerja dan memberikan potensi-potensi kerja pada perusahaan tersebut. Pihak sekolah juga dengan masyarakat luas, terutama pendayagunaan potensi yang ada dalam masyarakat, seperti daerah pertanian, menciptakan suasana pertanian yang maju dan mengasyikkan, dan peserta didik tidak malu untuk menjadi petani karena dengan menjadi petani pun ia bisa sukses atau kaya.
Read more ...

Putus Sekolah

  Putus Sekolah

Putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya. Misalnya, seorang warga masyarakat atau anak yang hanya mengikutipendidikan di sekolah dasar (SD) sampai kelas 5,disebut sebagai putus sekolah SD (belum tamat SB/tanpa STTB). Dengan demikian, seorang masyarakat yang memiliki STTB  SD kemungkinan mengikuti pembelajaran di SMP sampai kelas 2 saja,disebut putus sekolah SMP, dan seterusnya.
Bila seorang warga masyarakat telah tamat SD/SMP/SMA/PT dan memiliki STTB/ijazah Negara yang sah, ia disebut berpendidikan tertinggi SD/SMP/SMA/PT sehingga bila ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ia memperoleh efek sipil sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian Republik Indonesia.
Masalah putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak bekerja atau berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ktentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektual, serta tidak memiliki keterampilan yang dapat menopang kehidupannya sehari-hari. Lebih-lebih bila mengalami frustasi dan merasa rnedah diri tetapi bersikap over-compensation, bias menimblkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang positif.
Masalah putus sekolah bias menimbulkan ekses dalam masyarakat, karena itu penanganannya menjadi tugas kita semua.khususnya, melaui strategi dan pemikiran-pemikiran sosiologi pendidikan sehingga para putus sekolah tidak mengganggu kesejahteraan social. Sejurang-kurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut.
1.      Langkah preventif, yaitu dengan membekali para peserta didik keterampilan-keterampilan praktis dan bermanfaat sejak dini agar kelak bila diperlukan dapat merespon tantangan-tantangan hidup dalam masyarakat  secara positif sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi beban masyarakat atau menjadi parasit dalam masyarakat. Misalnya, keterampilan-keterampilan kerajinan, jasa, perbengkelan, elektronika, PKK, fotografi, batik, dan lain sebagainya.
2.      Langkah pembinaan, yaitu dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan praktis yang mengikuti perkembangan atau pembaruan zaman, melalui bimbingan dan latihan-latihan dalam lembaga-lembagai sosial atau pendidikan luar sekolah, seperti LKMD, PKK, klompencapir, karang taruna, dan sebagainya.
3.      Langkah tindak lanjut, yaitu dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka utntuk terus melangkah maju melalui penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang sesuai kemampuan masyarakat tanpa mengada-ada, termasuk membina hasrat pribadi untuk berkehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Misalnya, memberikan penghargaan, bonus, keteladanan, kepahlawanan, dan sebagainya, sampai berbagai kemudahan untuk melanjutkan studi dengan program belajar jarak jauh, seperti universitas terbuka, sekolah terbuka, dan sebagainya. Juga melalui koperasi dengan berbagai kredit, seperti KIK, KCK, kredit profesi, dan sebagainya (Nasution, 1983: 71-73).
Ada berbagai latar belakang kemunculan putus sekolah dalam dunia pendidikan kita. Kebanyakan adalah persoalan ekonomi. Orang tua siswa tidak mampu membiayai anaknya untuk melanjutkan sekolah. Kekuatan dan kekuasaan ekonomi mereka hanya mampu dipergunakan untuk biayahidup sehari-hari. Tidak jarang anaknya yang sedang sekolah melakukan kerja untuk membantu orang tuanya mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh  anggota keluarga tersebut. Biasanya, kerja atau bantuan anak tersebut dilakukan setelah ia pulang sekolah, sampai menjelang waktu memasuki malam, ada juga sampai malam. Terkadang, ada juga dilakukan sebelum ia berangkat sekolah dan setelah ia pulang sekolah,. Pekerjaan tersebut bisa dari ikut berjualan di pasar, jualan koran, cari pasir, memecah batu, membuat batu bata, mencari ikan, mencari kayu, dan lain sebagainya.
Pada kasus anak putus sekolah karena alasan ekonomis dan anak yang terpaksa melakukan kerja selain belajar, pekerjaan tersebut dilakukan tentunya ikut mengurangi konsentrasi proses belajarnya di sekolah tersebut. Fisiknya akhirnya banyak terkuras dalam kerja tersebut, sementara proses belajar yang menggunakan nalar ikut berkurang karena kecapaian tersebut. Terkadang, ketika ia sudahmelakukan atau membantu orang tuanya mencukupi kebutuhan sehari-hari, pekerjaan tersebut tidak bisa membantu keluarganya dalam mencukupi kebutuhan ekonomi dasar, seperti makanan, dengan kasus keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga besar. Itu membuat sang anak menjadi berpikir terlalu keras pula, sementara sekolah yak bisa diabaikannya dan menuntutnya untuk berpikir, memahami pelajaran yang diajarkan guru di sekolah, akhirnya menimbulkan kelelahan fisik, psikis dan pikiran, tak jarang akhirnya ia kecapaian, jatuh sakit, dan kemudian menyebabkan ia jarang masuk sekolah. Proses selanjutnyam orang tuanya mendorong anaknya focus dalam kerja saja sementara sang anak tersebut tentu tak punya pilihan lain, melihat kondisi orang tuanya kecapaian karena sudah tua, sulit membiayai kebutuhan sehari-hari, sementara adik-adiknya membutuhkan makan, akhirnya ia memilih untuk putus sekolah.
Ada juga sebab putus sekolah karena sang anak memiliki persoalan di sekolah, memiliki musuh, baik itu seniornya, teman seangkatannya, adik kelasnya, yang itu tidak membuatnya nyaman. Atau, ia melakukan perbuatan tidak bermoral, perbuatan keji, melakukan kekerasan, dan pelecehan seksual karena kemajuan teknologi dan informasi dunia internet atau melalui tayangan televise, seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau melakukan kekerasan pada teman sekolahnya yang mengakibatkan kerusakan fisik atau cacat fisik, dan itu mengakibatkannya bukan hanya berurusan dengan tata tertib sekolah, dengan keluarga pihak korban, tapi juga berlanjut dengan pihak aparat berwenang, yang mengakibatkan ia dipenjara, untuk kasus pelajar sekolah menengah atau sudah mahasiswa.
Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan, mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parker liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan took dan restaurant, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan penyemir sepatu. Ada juga factor lain yang menyebabkan anak terancam putus sekolah yaitu karena melakukan tindak kriminal.
Menurut data organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB yang merilis Indeks Pembangunan Pendidikan (education development index) menyebutkan penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua. Salah satunya disebabkan oleh tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar.
Persoalan masih tingginya angka putus sekolah juga diakui oleh Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh dalam suatu kesempatan di tahun 2010.siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP putus sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu, sekitar 920.000 lulusan SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan beragam alasan. Sedangkan, lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi.
Selain persoalan ekonomi yang menjadikan banyaknya angka putus sekolah, ada sebab lain, yaitu berkaitan dengan susahnya mengakses sekolah karena persoalan jaraknya jauh. Hal tersebut kebanyakan terjadi di wilayah terpencil, Indonesia bagian timur, akibat dari proses pembangunan yang tidak merata dan selama ini terfokus pada Jawa. Selain itu,ada faktor bencana alam yang menyebabkan anak terancam putus sekolah. Hal tersebut bisa dicontohkan dengan bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, yang terjadi di Jogjakarta dan Aceh. Bencana yang terjadi menghancurkan sekolah, rumah, dan hasil pertanian mereka. Hal demikian jika tidak ditangani secara luar biasa dapat menyebabkan jumlah anak putus sekolah semakin banyak.
Penyebab lain anak putus sekolah adalah keluarga, seperti perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga. Melihat berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya putus sekolah dari peserta didik baik itu bersal dari sekolah, rumah, maupun masyarakat, dan faktor dari kepribadian peserta didik. Maka, penanganan atas persoalan tersebut harus dilakukan secara holistik. Penanganan tersebut juga memerlukan kerja sama semua pihak yang menciptakan suasana bagi peserta didik tidak memiliki keputusan untuk putus sekolah.

Misalnya, pihak sekolah memberikan perhatian kepada peserta didik dari kalangan ekonomi rendah dengan memberikan program beasisa,pendidikan gratis, atau member kelonggaran atas biaya sekolahnya. Kemudian, membangun dialog dengan orang tua peserta didik bagi kemajuan dan keberlangsungan peserta didik, dengan sering mengunjungi rumah peserta didik atau mengundang orang tua peserta didik membicarakan semua persoalan yang ada berkaitan dengan persoalan peserta didik yang dikhawatirkan memiliki potensi putus sekolah, dengan jalan yang baik dan bijaksana tanpa pernah mencampuri urusan rumah tangga secara lebih jauh yang mengakibatkan semakin runyamnya persoalan yang ada. Atau, bekerja sama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama sehingga dapat memberikan semangat pada peserta didik bisa tetap meneruskan sekolahnya, entah itu karena adanya persoalan ekonomi, keluarga, atau adanya ketegangan atau konflik di sekolahnya.
Read more ...

Kekerasan didalam institusi pendidikan

  Kekerasan didalam institusi pendidikan

Kekerasan didalam institusi pendidikan dapat terjadi, misalnya ketika komunitas pendidikan di dalam sekolah dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masin-masing, memiliki latar belakang agama, budaya masing-masing, dan tidak selalu interaksi yang dilakukan setiap hari selalu menguntungkan dan menyenangkan. Pada saatnya terjadi perubahan yang menyebabkan terjadi konflik tak jarang dan sering terjadi kekerasan, baik itu secara personal antar personal, ataupun tawuran, baik secara kelompok per kelompok atau dengan kelompok lain. Kekeran itu bisa terjadi antar guru dan guru lain, atar guru dan murid, maupun murid satu dan murid lain.
Hasbalah Mohamad Saad yang pernah meneliti fenomena tawuran pelajar di DKI Jakarta memberikan narasi tentang fenomena tersebut. Frekuensi tawuran atau perkelahian pelajar dari tahun ke tahun terus meningkat. Perkelahian pelajar, khususnya di Jakarta, telah banyak melibatkan pelaku yang menimbulkan korban meninggal yang tidak sedikit. Hal tersebut telah menimbulkan kecemasan yang makin mendalam dari berbagai pihak yang berkepentingan, Depdiknas, pemda DKI, sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat pada umumnya. Kecemasan dan keprihatinan tersebut masih dalam batas sikap dan perasaan karena sampai saat ini belum ada jalan keluar atau solusi yang efektif cara mengatasi perkelahian dan tindak kekerasan yng semakin mengarah pada tindakan kriminal.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh pihak keamanan, yaitu untuk mencoba membangun sebuah lembaga sebagai wahana pendidikan bagi siswa yang tertangkap ketika terlibat prilaku kekerasan. Lembaga ini lebih bersikap militeristik yang menekankan pada latihan fisik dan memakai pendekatan klasikal, dengan metode ceramah tentang ketika berprilaku baik. Isi atau ceramah yang disampaikan diharapkan mampu mengembalikan anak-anak yang pernah terlibat tindak kekerasan untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama. Pendekatan tersebut sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, di kalangan profsional, baik ahli psikologi maupun ahli pendidikan yang secara langsung dapat memberikan diagnosis, tetapi psikologis dan sosiologis masih mencari solusi terbaik.
Masalah perkelahian pelajar yang didorong oleh kecenderungan remaja untuk berprilaku agresif masih relevan untuk dicermati secara lebih komprehensif. Apabila dijajaki secara komprehensif, perilaku manusia banyak didorong oleh banyak factor (saad, 2003:3-4)
Teori psikologi yang bermazhab behaviorisme menempatkan perilaku sebagai salah satu bentuk respons terhadap rangsang-rangsang yang ada. Rangsang atau dalam istilah lin stimulus dapat dating dari luar individu yang bersifat eksternal. Berdasarkan kondisi psikis masing-masing, setiap individu akan memberikan respons terhadap rangsang.
Rangsangan internal berupa kesan yang disimpan di bawah sadar dari struktur kepribadian individu, yang dalam kondisi tertentu dapat mencul kembali ke dalam kesadaran apabila kontril fisik psikis menjadi lemah. Hal ini sering terjadi pada diri seseorang yang relatif memiliki kepribadian yang masih rentan terhadap rangsangan-rangsangan negatif. Namun demikian, ada pendapat lain bahwa perilaku social individu yang terbentuk melalui relasi interpersonal merupakan disposisi yang relatif stabil adanya dalam membangun respons terhadap orang lain yang berbeda-beda.
Sementara itu di dalam bukunya, Lee Persons menjelaskan hal lain berkaitan dengan kekerasan di sekolah yang dihubungkan dengan kekerasan di sekolah yang dihubungkan dengan istilah intimidasi. Kita tahu bahwa semua sekolah memiliki masalah dengan perilku intimidasi dari siswa. Setiap sekolah diwabahi penyakit-penyakit penganiayaan fisik, intimidasi dalam suatu hubungan , intimidasi via kompoter, ejekan-ejekan yang kejam, gosip yang tidak benar , pengucilan, sentuhan seksual yang tidak dikehendaki, serta ancaman dan paksaan. Satu-satunya perbedaan diantara sekolah-sekolah adalah seberapa meluas dan menindasnya perilaku-perilaku ini serta bagaimana sekolah memerangi dan mengatasinya. Kita tahu bahwa perilaku intimidasi terjadi paling sering di halaman sekolah , dalam perjalanan, dari dan ke sekolah, di koridor-koridor sekolah, di kelas dan kantin, serta di kamar kecil. Meskipun kemungkinan besar pelaku-pelaku intimidasi beraksi di tempat ini, tidak ada satu pun wilayah atau di sekitar sekolah yang aman. Di manapun para siswa berkumpul, diawasi atau tidak, untuk tujuan apapun di sekolah, manapun  perilaku intimidasi dapat terjadi.
Data beberapa referensi tentang intimidasi, kita ketahui ada pola-pola baku, seperti sasaran intimidasi, peran dari penonton dan saksi terjadinya intimidasi, dinamika yang kompleks dan mencemaskan, yang menghubungkan antara pelaku, sasaran, dan penonton. Para peneliti sering menemukan korelasi antara intimidasi, bunuh diri, dan depresi.
Semua sekolah melakukan tindakan intimidasi dan semua sekolah memiliki budaya perilaku intimidasi. Dalam budaya seperti ini, siswa dan orang dewasa sebagai pelaku intimidasi bercampur dalam pola-pola yang kompleks dan menggelisahkan. Contoh-contoh berikut menggambarkan rumitnya hubungan-hubungan ini.
§  Beberapa siswa mengintimidasi siswa lain, beberapa siswa pelaku intimidasi ini adalah korban intimidasi dari siswa-siswa lain, beberapa siswa pelaku ini mengintimidasi guru.
§  Beberapa guru mengintimidasi siswa, beberapa guru pelaku intimidasi mengintimidasi guru lain, beberapa guru pelaku intimidasi mengintimidasi orangtua.
§  Beberapa karyawan sekolah mengintimidasi guru, siswa, dan orangtua.
§  Beberapa kepala sekolah mengintimidasi guru, karyawan, siswa, dan orangtua.
§  Beberapa orangtua mengintimidasi guru, karyawan sekolah, kepala sekolah, dan anak-anak mereka (Persons, 2009: 2-3, 7)
Ironisnya lagi, kekerasan dan tawuran antar-peserta didik bukan hanya terjadi di kalangan pelajar, melainkan juga para mahasiswa, yang sebenarnya dinilai dari umurnya sudah melampui fase remaja, fase yang seharusnya sudah stabil pergolakannya batin dan kejiwaannya. Ngainum Naim dalam salah satu tulisannya menyatakan ikut prihatin atas fenomena tawuran yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Hal tersebut disebabkan mahasiswa yang dalam sejarah perjalanan Indonesia menaikan banyak peranan menentukan dalam sejarah, kini banyak yang justru melakukan tindakan yang jauh dari karakteristik intlektual. Tawuran antar-kampus menjadi fenomena yang semakin mewabah di mana-mana. Kampus adalah lingkungan pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai intlektualitas. Segala bentuk aktivitas yang berlangsung dalam kampus seyogianya dilakukan dalam bingkai intlektualitas. Sebab, dimensi ini merupakan karakteristik sekaligus keistimewaan kampus sebagai tempat para mahasiswa menimba ilmu.
Tawuran antar-mahasiswa, misalnya hampir setiap saat terjadi. Konflik dalam pemilihan rector atau perbedaan aspirasi kerap berlanjut dalam bentrokan fisik. Kasus-kasus awuran mahasiswa menjadi wajah lain kehidupan kampus di Indonesia.
Memang ironis ternyata lembaga pendidikan nasional kita masih belum bisa meminimalisasi terjadinya kekerasan di sekolah. Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak kekerasan di lingkup sekolah.
Pada beberapa penderitaan mengenai kekerasan di sekolah terjadi pada saat anak sekolah memulai perkenalnya dengan situasi dan lingkungan sekolah tersebut, biasanya terjadi lewat Masa Orientasi Siswa (MOS). Disini para senior sekolah tersebut biasanya melakukan kekerasan para juniornya.
Beberapa elemen masyarakat mengusulkan agar MOS ditiadakan karena jumlah korban semakin banyak dan korban bukan hanya rusak fisik dan mentalnya dan parahnya beberapa kasus ada yang meninggal dunia.
Sementara menurut Marcoes, setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunakan analisis gander. Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala ada ketimpangan relasi. Dengan begitu, kekerasan bisa dialami siapa saja dalam hubungan-hubungan yang timpang. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, antara orang tua/dewasa dan anak-anak, antara guru dan murid, lelaki dan perempuan, serta perempuan dewasa/kakak kelas dan perempuan lebih muda/adik kelas.
Kedua, kekerasan selalu berangkat dari adanya stereotype tentang korban. Misalnya, dalam relasi warga kulit putih dan kilit hitam, kekerasan berangkat dari Surabaya anggapan bahwa orang-orang kulit hitam adalah pelaku criminal, penjahat, pengedar narkoba, dan pembuat keonaran. Adanya anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya legitimasi melakukan tindakan kekerasan.
Apa yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan untuk menangani hal tersebut justru mendaur ulang kekerasan itu lebih jauh.
Pertama, khasus tersebut tidak ditangani dengan segera oleh pihak yang berwenang, terutama pihak sekolah sehingga bisa meminimalisasi, mendamaika dan menurunkan tensi kekerasan tersebut. Kedua, akibat pemberitaan media sudah meluas, yang terjadi justru ketika ada pihak yang merasa diintimidasi dan disangka sebagai pelaku merasa tidak nyaman lagi disekolah. Pihak sekolah berwenang terutama kepala sekolah tidak mengambil langkah strategis dan bijak untuk melikalisasi dan meminimalisasinya.
Berdasarkan data yang diperoleh , menurut Hadi angka kekerasan yang dilakukan oleh guru, terlihat meningkat drastic. Sebab, pada tahun 2007, persentase kekerasan dari tenaga pendidik tersebut hanya mencapai 11,3 persen. Namun, dalam pantauan selama dua tahun terakhir tersebut, korban terbanyak selalu berasal dari siswa SD dan SMP.
Sementara itu, pada kesempatan lain Hadi Supeno menyebutkan bahwasanya kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah menempati peringkat kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga, sebagi tindak kekerasan yang sering dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sepanjang 2008-2009, tingkat kekerasan di sekolah mencapai 25 persen dari seluruh laporan tindak kekerasan.
Masih banyaknya tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, menurut Hadi, terjadi karena guru kurang kreatif dalam mencari metode mendisiplinkan murid sehingga cenderung mengambil cara kekerasan.
Pelaku tindak kekerasan tidak hanya di dalam institusi pendidikan, sekolah, maupun kampus. Kekerasan yang terjadi di Negara kita sudah sering kita lihat dalam pemberitaan di media masa. Manusia Indonesia saat ini terlihat gampang marah dan gampang meluapkan emosinya, atau mengatasi persoalan hidupnya yang menghimpit dengan jalan kekerasan. Persoalan spele bisa jadi persoalan besar dan mengakibatkan tawuran banyak orang.
Banyak faktor yang memunculkan kekerasan. Bisa jadi kekerasan tersebut muncul karena persoalan dalam keluarga begitu besar, apakah itu berkaitan dengan perselingkuhan, bahkan perceraian. Bisa jadi persoalan tersebut karena kemiskinan yang akut dan terjadi diskriminasi social ekonomi dalam sebuah kondisi social. Bisa jadi persoalan tersebut karena budaya kekerasan telah menjadi tradisi dalam sekolah atau masyarakatnya dalam mengatasi persoalan-persoalan internal dirinya, persoalan keluarga, persoalan kemasyarakatan, bahkan persoalan kebangsaan.

Oleh karenanya, penanganan persoalan tersebut tidak boleh dilakukan secara sepihak dan satu kelompok. Penanganan tersebut harus melibatkan semua pihak, mulai dari pola pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, pendidikan politik kebangsaan oleh pemerintah berikut aparaturnya, dan pendidikan di sekolah, yang kesemuanya mengajarkan mengatasi persoalan dengan jalan yang baik, sederhana, bijaksana, dialog, dan menolak kekerasan, baik kekerasan pada orang lain, kelompok sendiri, maupun diri sendiri.
Read more ...

Pengaruh Iklim Sosial Terhadap Sosialisasi Anak

  Pengaruh Iklim Sosial Terhadap Sosialisasi Anak

     Pada umumnya dapat kita bedakan dua macam iklim sosial yang ekstrim, yakni iklim yang demokratis dan otokraktis seperti telah diuraikan sebelum menurut kepribadian guru. Dalam iklim demokratis anak-anak mendapat lebih banyak kebebasan untuk berkelakuan menurut kepribadian masing-masing sedangkan dalam iklim otokratis kelakuan anak dikontrol ketat oleh guru. Namun individu yang hanya dapat berbuat menurut perintah orang lain tanpa diberi kesempatan untuk memberi pertimbangannya sendiri, sukar akan berkembang menjadi manusia yang sanggup berpikir dan berdiri sendiri, bahkan sulit menjalankan peranannya dengan baik dalam iklim demokrasi.
     Apakah pengaruh iklim otokratis atau demokratis terhadap anak ? Penelitan mengenai masalah ini pernah dilakuakan oleh kurt Lewin dan Ronald Lippitt itu pada tahun 1939. Mereka memilih dua kelompok, yang satu ditempatkan di bawah pimpinan yang otokratis dan yang satu lagi di bawah pemimpin demokratis. Berdasarkan percobaan pada kedua kelompok itu mereka mengambil beberapa kesimpulan antara lain :
1. Dalam iklim otokratis lebih banyak dikeluarkan kecaman tajam yang bersifat pribadi, sedangkan dalam iklim demokratis terdapat suasana kerja sama, pujian terhadap sesame teman, saran-saran konstruktif dan kesedihan menerima buah pikiran orang lain.
2. Dalam iklim otokratis lebih ditonjolkan diri sendiri soal “aku”, sedangkan dalam suasana demokratis terasa ke-“kita”an.
3. Dalam suasana otokratis, adanyapimpinan yang kuat menghalangi orang lain untuk memegang pemimpin, sedangkan dalam iklim demokratis beda status sosial pemimpin dan yang dipimpin kecil sekali, sehinggapada suatu saat setiap orang mudah memegang kepemimpinan dalam hal ia memiliki kelebihan.
4. Individualitas murid dapat berkembang dalam iklim demokratis, sedangkan perkembangannya tertekan dalam suasana otokratis karena setiap murid mempunyai status yang rendah tanpa dapat mengembangkan individualitasnya.
5. Dalam iklim otokratis tindakan kelompok bukan tertuju kepada pemimpin melainkan terhadap salah seorang murid sebab murid mudah dijadikan kambing hitam: secara potensial setiap murid dapat menjadi saingan atau lawan murid lainnya.
Lewin (dalam Nasution, 1983:136) berpendapat bahwa iklim sosial dalam hidup anak sama pentingnya dengan udara yang dihirupnya. Hubungan dengan orang-orang lain  dan statusnya dalam kelompok merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam menentukan apakah ia merasa aman atau tidak. Maka karena itu kelompok dan kebudayaan di mana anak itu hidup sangat menentukan kelakuan dan wataknya.
Menurut Lewin, Pipit, dan peneliti lain iklim demokratis lebih serasi untuk penyesuaian sosial yang memuaskan, memberi kesempatan yang lebih bebas untuk mengekspresikan individualitas, memupuk suasana kerja sama, mengurangi rasa ketegangan, persaingan dan permusuhan serta memupuk rasa aman dan tentram. Pendirian ini bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa orang merasa aman dalam kelompok otokratis di mana setiap orang mempunyai peranan yang jelas.
Bagi kesejahteraan rohani iklim demokratis lebih menguntungkan daripada iklim otokratis. Suasana otokratis timbul bila guru terlampau mendominasi kelas dan iklim yang demikian merusak penyesuaian diri yang sehat. Dalam iklim demokrati anak-anak kerjasama, bergotong royong dan bukan bersaing dan salih bermusuhan.
Kelakuan demokratis harus dipelajari. Mempelajari sikap demokratis memerlukan waktu yang lebih banyak bila anak-anak telah mengalami iklim otokratis. Makin lama anak itu hidup dalam suasana otokratis makin sulit baginya untuk mempelajari sikap demokratis. Demokratis harus dipelajari sedangkan otokratis dapat dipaksakan atas.
Kelakuan anak dibentuk menurut corak kelakuan kelompok atau iklim kelompok tempat ia berada. Iklim kelompok banyak ditentukan oleh guru atau pemimpin. Oleh sebab pemimpin atau guru ada bersifat demokratis da nada pula yang otokratis, maka murid tiap kali akan beralih dari iklimk demokratis ke iklim otokratis setiap kali gurunya berganti.

Iklim otokratis dianggap lebih serasi untuk mencapai prestasi akademis yang diutamakan oleh sekolah “tradisional”, sedangkan sekolah yang “progresif” lebih mengutamakan perkembangan kepribadian anak yang dianggap lebih mungkin tercapai dalam suasana demokratis. Dapat pula dipersoalkan apakah prestasi akademis memang hanya diperoleh dalam iklim otokratis atau dapat juga dicapai dalam iklim demokratis. 
Read more ...

Guru Sebagai Model

    Guru Sebagai Model

Guru-guru tak semua sama, bahkan berbeda beda pribadinya. Mereka mungkin pula berasal dari lingkungan sosial yang berlainan. Alasan mereka memilih pekerjaan sebagai guru berbeda-beda, ada yang sungguh-sungguh sebagai panggilan untuk mengabdikan diri kepada pendidikan anak, ada pula yang mencari lapangan kerja yang menjamin hidupnya atau yang mencari kedudukan yang berkuasa atas anak-anak sebagai kompensasi atau rasa inferioritasyang ada pada dirinya.
Guru-guru yang berasal dari golongan rendah dan sebagai guru meras dirinya meningkat ke golongan menengah sambil mempelajari norma-norma golongan itu selama pendidikannya dan dalam jabatannnya. Namun ia masih sering memperlihatkan kelakuan yang berasal dari golongannya semula. Melalui interaksi yang banyak dengan golongan menengah dan atasan, berkat pendidikan dan pengalaman tiap guru dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan modern dalam masyarakat Gesellscahft untuk memperoleh pandangan yang luas.
Guru yang terikat pada pandangan golongan aslinya akan lebih picik pandangannya. Kepicikan atau keterbatasan pandangan guru diperkuat oleh tuntuttan masyarakat Germeinschaft  kelakuan guru. Selain itu guru-guru di desa atau kota kecil berasal dari daerah itu sendiri dan sejak kecil telah terdidik menurut norma-norma dari lingkungan itu. Di sekolah di kota terdapat variasi yang lebih besar tentang kesukuan dan daerah asal guru.
Ada kecenderungan kedudukan guru makin banyak ditempati oleh kaum wanita, khususnya di sekolah dasar dan juga sekolah menengah. Dapat kita katakana bahwa guru-guru menunjukkan heteregonitas, dan mereka semua diharapkan menjadi guru yang baik dimanapun mereka mengajar dan dapat menjadi model atau teladan bagi anak-didiknya.
Harapn orang tua tentang guru tidak selalu sepadan dengan pandangan serta ucapan mereka tentang guru. Dalam dunia yang kian materialitas ini guru tidak menduduki tempat yang tinggi dalam penilaian masyarakat.
Bila guru naik sepeda atau kendraan umum itu dianggap biasa sesuai dengan status social guru. Yang aneh ialah bila guru SD atau SMP naik mobil ke sekolah sebab dianggap melebihi kesanggupan guru pada umumnya.  Ada kalanya orang tua mengucapkan kata-kata yang merendahkan gengsi guru. Guru yang menjadi sorotan murid dan orang tua sering diberi nama julukan yang menurunkan derajat guru. Apakah orang tua menegur anak atau bahkan turut menggunakan nama julukan itu dapat meningkatkan atau menurunkan nilai guru dalam pandangan murid dan mempengaruhinya memilih atau menolak model dari kalangan guru-gurunya.
Dengan bertambahnya guru wanita dapat menimbulkan masalah model khususnya bagi anak pria jika seluruh staf guru terdiri atas wanita. Guru wanita sebagai model dapat menjadi masalah. Guru wanita yang sudah kawin yang menjadi guru karena didesak oleh motivasi financial atau untuk mengelakkan kerepotan rumah tangga sukar menjadi model yang serasi. Juga guru yang belum kawin dan berusia lanjut tidak akan dijadikan model oleh gadis-gadis yang menginginkan rumah tangga sendiri. Guru itu bahkan menjadi model yang negatif bagi anak-anak.bila kelakuan guru berbeda sekali dengan cita-cita murid maka ia akan mencari model yang lain di luar sekolah.
Peranan anak yang diharapkan
Sosialisasi murid di sekolah dipengaruhi oleh :
1.    Iklim social di sekolah
2.    Adanya model bagi murid
3.    Peranan murid seperti yang diharapkan
Peranan yang diharapkan dari murid dapat dilihat dari tiga segi yakni menurut (a) guru, (b) orang tua, (c) murid-murid lainnya.
1)      Apakah Yang Diharapkan Guru?
Guru-guru pada umumnya mengharapkan agar murid-murid mempelajarinya yang diajarkan dan ditugaskan. Tiap murid harus menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung serta bidang studi lainnya. Mereka harus rajin belajar agar memperoleh prestasi yang tinggi supaya naik kelas. Tinggal kelas adalah kegagalan yang mempengaruhi pribadi anak yakni menurunkan statusnya dalam pandangannya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Di sekolah sangat diutamakan prestasi akademis, walaupun juga dipentingkan aspek kepribadian anak lainnya sebagai manusia dan warga Negara.
Anak-anak yang mempunyai intelegensi rendah akan banyak mengalami kesukaran di sekolah. Mereka akan selalu ketinggalan namun harus mengikuti kurikulum yang sama serta memenuhi tuntutan prestasi akademis yang sama. Mereka ini akan kehilangan kepercayaan akan diri sendiri, mereka kurang dalam hubungan sosialnnya, menarik diri dari pergaulan social dan dapat mengalami gannguan atau tekanan mental.
Kedudukan anak t kurang berbakat intelektual lebih dipersukar lagi karena suasana persaingan sekolah, terutama untuk memasuki sekolah yang lebih lanjut.
Agar anak-anak belajar baik sekolah menjalankan dispilin yang ketat yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan untuk dipatuhi oleh setiap murid. Murid-murid harus dating ke sekolah pada waktunya, menghadiri pelajaran dengan setia, memberi perhatian kepada setiap pelajaran tanpa mengganggu pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang dapat memelihara disiplin dalam kelasnya. Karena pelajaran kebanyakan disampaikan secara verbal dengan banyak menggunakan metode ceramah, maka disiplin harus ketat. Pelanggaran disiplin harus ditindak oleh sebab tanpa disiplin pelajaran tidak dapat disampaikan dengan efektif. Hanya bila guru menggunakan metode kerja sama, pemecahan masalah atau belajar sendiri, guru dapat menjalankan disipin yang lebih bebas, yang sebenarnya lebih membantu perkembangan pribadi anak yang sehat.
Bagi guru pelanggaran disiplin kelas dan sekolah dianggap serius misalnya bercakap-cakap dalam kelas, mencontek, pergi ke luar kelas tanpa izin guru, menentang guru, berkelahi, atau rebut. Bahakan tidak berpakaian seragam baru-baru ini dihukum oleh seorang kepala sekolah dengan menggunduli kepala sejumlah murid dan menyuruh mereka pulang ke rumah.
Disiplin yang ketat, melarang anak-anak bicara atau kerja sama dalam pembelajaran sebenarnya menghalangi sosialisasi anak dan perkembangan pribadinya. Sosialisasi hanya dapat berlangsung dalam interaksi social dalam suasana bebas.
Apa yang dianggap oleh guru sebagai pelanggaran serius atau kelakuan yang tak layak sering berbeda dengan pendapat ahli psikologi. Misalnya cirri-ciri non-agresif seperti kurang bergaul, rasa cemas, suka menyendiri, muram, pendiam, curiga, gugup, kebergantungan yang dianggap tidak serius oleh guru karena tidak mengganggu disiplin dalam kelas, justru dipandang serius bagi perkembangan pribadi anak oleh ahli kesejahteraan rohani atau “mental hygiene”. Sebaliknya pelanggaran yang dianggap serius oleh guru seperti menulis kata-kata kotor, masturbasi, membolos, berdusta, mencontek, menentang, merusak, tidak dianggap begitu penting oleh ahli psikologi. Guru terutama mementingkan ketertiban kelas dan sekolah untuk mencapai prestasi akademis yang sebaik-baiknya. Sebaliknya hli mental hygiene atau ahli kesejahteraan rohani mengutamakan perkembangan pribadi anak agar menjadi individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan socialny dengan penuh kepercayaan akan dirinya.
Guru yang juga memperhatikan aspek kepribadian anak hendaknnya menerima pendirian para ahli mental hygiene dan menjadikannya sebagai pedoman untuk mencapai tujuan akademis. Ia akan lebih banyak memberikan tanggung jawab kepada anak-anak untuk memelihara disiplin dan bekerja tanpa mengganggu orang lain dan dengan demikian memupuk disiplin diri. Ia jua akan lebih memperhatikan anak-anak pendiam dan penakut dan mencoba memahami dan membantu mereka. Dengan demikian guru itu tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik.
2)      Apa Yang Diharapkan Orang Tua
Orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah agar menjadi “pandai” artinya menguasai apa yang diajarkan di sekolah. Dalam hal ini orang tua dan guru mempunyai harapan yang sama. Orang tua juga sangat mementingkan kemajuan anaknya di sekolah dan mengharapkan agar anaknya mematuhi perintah gurunya serta berkelakuan baik. Apa yang baik menurut pandangan masyarakat pada umumnya sama dengan pandangan guru, walaupun dalam hal tertentu mungkin terdapat perbedaan.
Orang tua mengharapkan pula agar anaknya mendapat rapor yang baik agar dapat melanjutkan pelajarannya ke sekolah yang baik di kemudian hari dan karena itu banyak orang tua yang tidak ragu-ragu memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya bahkan sering di atas kemampuannya untuk memungkinkan anaknya belajar di perguruan tinggi. Oleh sebab itu mereka tak jemu-jemu menasehati anaknya agar rajin belajar, mematuhi peraturan dan perintah guru yang pada umumnya juga diharapkan oleh guru.
Harapan atau aspirasi orang tua tentang anaknya juga bergantung pada tingkat sosialn orang tua. Orang tua di pedesaan yang memerlukan tenaga anaknya dalam perjuangan hidup tidak begitu mementingkan pendidikan formal atau mereka memilih sekolah yang dalam waktu singkat mempersiapkan anak itu untuk suatu pekerjaan. Bila tenaga anak diperlukan dengan sendirinya orang tua mempunyai pandangan yang lain tentang kerajinan belajar, soal bolos, prestasi belajar, disiplin, dan sebagainya.
Karena oranng tua mengutamakan prestasi akademis da perkembangan intelektual mereka tidak terlampau mementingkan perkembangan pribadi dan sosialisasi anak. Bahkan mereka melihat bahaya dan kerugian bila anaknya terlampau banyak berteman karena menyimpangkan perhatian anak dari pelajaran sekolah.
3)      Apa Yang Diharapkan Oleh Murid-Murid
Di sekolah anak-anak harus menyediakan diri dengan teman-temannya. Harapan teman-teman factor utama dalam proses sosialisasi di sekolah. Anak-anak kelas rendah SD masih mengikuti norma-norma yang ditetapkan oleh guru dan orang tua. Apa yang dikatakan oleh guru, itulah yang tidak dapat dibantah oleh orang tua. Tetapi murid sekolah menengah lebih cenderung mengikuti harapan teman-temannya daripada orang tua. Apa yang diharapka oleh teman-temannya sering berbeda dengan harapan orang tua. Guru memandang anak sebagai pelajar. Sebagai pelajar ia harus memusatkan seluruh perhatiannya kepada pelajaran untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Bagi guru dan orang tua angka tinggi menjadi kebanggaan yang patut diberi pujian. Tak demikian pendapat para pelajar sendiri. Menjadi kutu buku bukan kehormatan. Menjadi juara kelas bukan cita-cita. Bagi pelajar angka sedang sudah memadai namun tidak ada yang menginginkan tinggal kelas.
Yang dipentingkan para pemuda adalah agar pandai bergaul, dapat berhubungan dengan teman-teman dalam suasana gembira. Karena itu mereka peka terhadap keinginan dan harapan teman-temannya. Apa yang diinginkan oleh teman-teman akan berbeda dari sekolah ke sekolah, dari zaman ke zaman.
Mereka tidak menyukai anak yang sombong, angkuh, memamerkan kelebihannya dalam ucapan, sikap, atau pakaiannya. Anak muda yang diantar dengan mobil mewah ke sekolah tidak akan disukai teman-temannya.
Juga mereka tidak menyukai murid yang menunjukan dirinya sebagi anak yang paling pintar, juara atau jagoan. Bila ia memang pandai, juara atau jago biarlah orang lain yang mengatakannya dan bila itu dikatakan kepadanya dia harus menolaknya. Pemuda ini tidak menyukai orang yang menyimpang kelakuannya dari apa yang diterima oleh kelompoknya itu. Anak yang kelewat alim tentang seks atau moral akan dicemoohkan namun mereka menentang pelanggaran susila.
Bagi pemuda pakaian soal penting. Mereka mengharapkan teman-temannya berpakaian sesuai dengan mode yang berlaku di kalangan mereka. Dalam ini orang tua harus mengalah karena mereka tidak dapat menentang mode pemuda, sekalipun dianggap ganjil, aneh, bahkan jelek oleh orang tuanya. Pakaian harus biasa. Mereka yang berpakaian terlampau rapi akan mendapatkan ejekan. Pakaian itu tak perlu mahal, asal sesuai dengan mode yang berlaku.
Pemuda umunya menghargai prestasi dalam bidang olahraga atau musik. Mereka yang berprestasi tinggi dalam bidang ini menjadi popular asal jangan menjadi sombong dan menganggap dirinya lebih jago dari orang lain. Sikap anggapan jago sangat tidak disukai di kalangan pemuda dan sering mengundang perkelahian.

Maka bagi mereka yang mencapai prestasi akademis tinggi seperti yang diharapkan oleh guru dan orang tua timbul kesulitan agar juga disenangi oleh teman-temannya. Mereka yang gagal memenuhi kedua macam harapan itu akan mengalami gangguan dalam proses sosialisasi. Dengan bersikap tanpa menonjolkan diri kedua harapan itu dapat dipertemukan. Baik angka-angka maupun pergaulan dengan teman sebaya penting bagi setiap siswa. 
Read more ...

Sekolah sebagai suatu birokrasi

Sekolah sebagai suatu birokrasi

Birokrasi merupakan rasional efesiensi organisasi yang setiap anggotanya hanya bertanggung jawab pada tugas yang dipegangnya dan dia mampu (kompeten) untuk melakukannya.
Menurut Ronald B. Covin (dalam eddy Tukijan, 2010:3.12) bahwa birokrasi itu merupakan istilah yang pegorative (tidak disukai atau buruk) dan terlintas kesan sebagai suatu yang tidak efesien atau organisasi yang tidak praktis. Hal ini diperkuat oleh Jeanne H. Ballantina (dalam eddy Tukijan, 2010:3.12)  dalam Bahar antar lain bahwa : 1. Tidak responsive terhadap perubahan yang cepat, 2. Tidak menimbulkan kreatifitas, 3. Hanya terpusat pada kekuasaan social yang dipegangnya dan sering berada/dilakukan oleh pemimpin yang lazim. Dari kedua pendapat tersebut diatas , memberikan gambaran bahwa birokrasi merupakan hal yang negative, sebab dengan birokrasi maka pelayanan organisasi tidak cepat, harus mengikuti ketentuan yang baku dan kepemimpinanya terpusat atau dikendalikan oleh seorang pemimpin. Hal-hal tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab dengan birokrasi kepemimpinan terkontrol, dan apabila ada kesalahan menjadi tanggung jawab seorang pemimpin.
Ciri-ciri birokrasi antara lain :
1.      Organisasi yang terpisah dan mempunyai banyak staf.
2.      Tingkatan organisasi yang teratur dan tersusun rapi baik dari bentuk maupun pembagian kerjanya.
3.      Ada peraturan yang mengatur tata cara pelaksanaan birokrasi baik ke dalam maupun ke luar.
4.      Status individu terdapat dalam birokrasi misalnya harus memahami dan melaksanakan peraturan atau cara kerja birokrasi.
5.      Mempunyai jalur komunikasi formal baik ke dalam maupun ke luar.
Menurut Max Weber (dalam Eddy Tukijan, 2010:3.14) ciri organisasi dengan tipe ideal yaitu :
1.      Devision of labort securitment and promotion policies
Guru maupun petugas administrasi mempunya tugas masing-masing baik disekolah maupun dirumah, karena masing-masing telah mengerjakan secara rutin pekerjaannya, maka dia ahli di bidangnya.
2.      Hirearchical system of authority
Jenjang atau tingkatan kepemimpinan sekolah berturut-turut yakni
1.      Dewan Penasehat/Penyantun
2.      Pengawas
3.      Kepala Sekolah
4.      Guru
5.      Murid/Siswa
Masing-masing tingkatan ini mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda, dengan sendirinya mempunyai jalur komunikasi yang berbeda pula. Contohnya Guru memanggil murid dengan nama panggilan sehari-hari misalnya Alex, Roi atau Pur berbeda jika memanggil dengan kata ganti kamu, anda, engkau. Dengan menggunakan nama panggilan maka anak akan merasa lebih dekat dengan Guru. Apabila anak merasa asing maka mempengaruhi kelancaran komunikasi dengan demikian hirarki kepemimpinan tidak berjalan dengan lancar.
3.      Ruler, Regulation and Procedures
Setiap sekolah mempunyai peraturan tersendiri, seperti siswa yang terlambat harus melapor kepada Guru piket dan menandatangani kartu terlambat, memakai seragam sekolah, rambut pria tidak boleh panjang. Ketentuan ketentuan tersebut disosialisasikan dengan peraturan. Peraturan ini dicetak sedemikian rupa dan ditempelkan pada papan pengumuman sehingga dapat dibaca setiap saat, dan bahkan gurumenempelkan pada buku pegangan guru supaya dapat mengingatkan siswa yang melanggar peraturan. Demikian pula ada lembaga sekolah yang menanamkan kedisiplinan melalui kehadiran. Semua siswa dan Guru tidak  boleh terlambat masuk sekolah sebab pagar sekolah sudah ditutup.
4.      Formalized and Effectively Neutral Role Relationship
Apabila seorang memegang posisi tertentu dalam organisasi birokrasi. Jikalau terjadi pengabaian terhadap satu peranan maka akan menimbulkan masalah dalam suatu organisasi. Oleh karenanya hubungan yang terjadi di sekolah harus netral, artinya terjadinya saling pengertian antara murid dan guru saling memahami, berinteraksi dan lain-lain.
5.      Relationaly of the Total Organization
Kecendrungan administrasi organisasi adalah untuk mencoba dan mencari alat yang paling efisien dalam rangka menghasilkan suatu fungsi. Begitu juga halnya dengan sekolah yaitu berusaha untuk mencapai tingkat efesiensi yang sedemikian rupa.
6.      Position Belong Organization

Ada kepala sekolah yang akan pensiun dia seorang kepala sekolah yang dikenal popular. Teman-teman dan murid menyenanginya sebentar lagi akan diganti dengan yang lebih muda, tentu kepala sekolah yang baru akan membawa suasana baru pula. Apakah kepala sekolah yang baru ini akan popular? Tentu belum tentu karena masing-masing orang mempunyai kaunikan tersendiri dalam memimpin. Hal ini dipengaruhi seseorang dalam suatu organisasi.
Read more ...