Pengangguran
Istilah pengangguran dalam bahasa
Belanda memiliki tiga arti. Dalam kamus M.J. Koenen’s (Koenens; 1923) dinyatakan sebagai berikut:
1. Werkeloos.
Istilah ini diperuntukkan bagi pensiunan pegawai negeri yang meskipun tanpa
bekerja setiap bulannya dapat menerima uang pension, bahkan juga mendapat
kenaikan uang pension sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Werkloos.
Istilah ini diperuntukkan bagi penduduk di daerah dingin, pada musim winter
mereka tidak perlu bekerja, dan kebutuhan hidup sehari-hari telah mereka
persiapakan pada hari-hari menjelang winter
dating.
3. Werkloze.
Istilah ini diperuntukkan bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan, tetapi
tanpa/belum memperoleh pekerjaan.
Sementara, orang
beranggapan bila seseorang tidak menjadi pegawai negeri sipil/ABRI, mersa belum
bekerja atau menyebut dirinya pengangguran. Padahal, sebenarnya bekerja sebagai
pegawai negeri/swasta, pedagang besar/kecil/bakul, buruh, dan sebagainya,bila
telah memiliki penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
bersama keluarganya, sesungguhnya ia bukan pengangguran, dalam hal ini termasuk
pemulung, pengamen, pengemis, dan sebagainya.
Penganggur yang sering menjadi masalah
sosial adalah mereka yang enggan bekerja atau kurang gigih berusaha, bahkan tidak
mau berusaha atau bersusah payah. Karenanya, menjadikan orang tersebut sebagai
parasit masyarakat,parasit keluarga, parasit orang tua, atau parasit
saudaranya. Untuk itu, agar mereka tidak berlarut-larut menjadi pengganggu
masyarakat, tugas masyarakatlah untuk mendekati dan membinanya agar mau mencoba
berusaha dan bekerja apapun asalkan halal untuk dapat menghasilkan sesuatu guna
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil usahanya sendiri. Misalnya,
dengan memberikan pengertian dan perlunya pendidikan wiraswasta. Hal ini
dimantapkan dengan semboyan “bila ada kemauan, pasti ada jalan” (Gunawan, 2000:
73-74).
Fenomena pengangguran di Indonesia
memang cukup memprihatinkan. Sekarang, kita tidak bisa lagi memakai alasan
pendidikan kurang tinggi menjadi penyebab utama seseorang itu menganggur atau
tidak bekerja karena ijazahnya tidak bisa diterima di perusahaan maupun
institusi negara. Sekarang ini, sudah ada istilah pengangguran intelektual yang
jumlahnya tidak sedikit. Jadi, sudah banyak dari pemuda-pemuda kita yang
sekolah sudah tinggi, bergelar sarjana, tapi tidak memiliki pekerjaan alias
pengangguran. Bahkan fenomena tersebiut semakin meningkat, yaitu tidak sedikit
kalangan intelektual pascasarjana (S2) yang masih bingung mencari kerja. Kita
tentunya heran karena kalangan intelektual seharusnya sudah bisa menciptakan
lapangan pekerjaan untuk membantu mengatasi persoalan sosial dan persoalan
kebangsaan tersebut, tapi faktanya mereka justru ikut mempersempit peluang
kerja, ikut menjadi persoalan sosial tersebut.
Dari data survey tenaga kerja nasional
tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas),
mengungkapkan, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan
kerja, sebanyak 4,1 juta orang atau sekitar 22,2 persen adalah pengangguran.
Menurut Aditia Sudarto, seorang
konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) Daya Dimensi Indonesia, kondisi tersebut
lebih mengkhawatirkan lagi, tingkat pengangguran terbuka itu di dominasi oleh
lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka 2 juta orang. Merekalah
yang kerap disebut dengan “pengangguran akademik”.
Konsep pengangguran yang digunakan
adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang
tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan
yang sudah mendapatkan pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja dan pada waktu
yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless).
Pengangguran dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai
pengagguran terbuka (open unemployment).
Dari narasi berbagai fakta fenomena
pengagguran nasional di atas, penanganan atas persoalan tersebut perlu kerja
sama antara pihak sekolah dan masyarakat luas. Pihak sekolah dapat melakukannya
dengan mengadakan dan meningkatkan program pembelajaran ilmu keterampilan,
penguatan kurikulum pendidikan karakter, kemandirian, dan penguatan mental.
Pihak sekolah juga bisa mengadakan kerja sama dengan masyarakat, khususnya
dengan pihak kalangan pedagang, pengusaha yang memiliki perusahaan, atau pabrik
untuk bisa melakukan pelatihan kerja dan memberikan potensi-potensi kerja pada
perusahaan tersebut. Pihak sekolah juga dengan masyarakat luas, terutama
pendayagunaan potensi yang ada dalam masyarakat, seperti daerah pertanian,
menciptakan suasana pertanian yang maju dan mengasyikkan, dan peserta didik
tidak malu untuk menjadi petani karena dengan menjadi petani pun ia bisa sukses
atau kaya.
The casino opens on Monday with $200m jackpot for
BalasHapusNew casino 익산 출장샵 opening Thursday with $200m jackpot 남원 출장샵 for The online 남양주 출장안마 gaming company said it has opened 영천 출장샵 in Las Vegas as it expands 경주 출장샵 into the