Putus
Sekolah
Putus sekolah merupakan predikat yang
diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu
jenjang pendidikan sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang
pendidikan berikutnya. Misalnya, seorang warga masyarakat atau anak yang hanya
mengikutipendidikan di sekolah dasar (SD) sampai kelas 5,disebut sebagai putus
sekolah SD (belum tamat SB/tanpa STTB). Dengan demikian, seorang masyarakat
yang memiliki STTB SD kemungkinan
mengikuti pembelajaran di SMP sampai kelas 2 saja,disebut putus sekolah SMP,
dan seterusnya.
Bila seorang warga masyarakat telah
tamat SD/SMP/SMA/PT dan memiliki STTB/ijazah Negara yang sah, ia disebut
berpendidikan tertinggi SD/SMP/SMA/PT sehingga bila ia bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) ia memperoleh efek sipil sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang pokok-pokok kepegawaian Republik Indonesia.
Masalah putus sekolah khususnya pada
jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak bekerja atau berpenghasilan tetap,
dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ktentraman
masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau pengalaman
intelektual, serta tidak memiliki keterampilan yang dapat menopang kehidupannya
sehari-hari. Lebih-lebih bila mengalami frustasi dan merasa rnedah diri tetapi
bersikap over-compensation, bias
menimblkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang
bertentangan dengan norma-norma sosial yang positif.
Masalah putus sekolah
bias menimbulkan ekses dalam masyarakat, karena itu penanganannya menjadi tugas
kita semua.khususnya, melaui strategi dan pemikiran-pemikiran sosiologi
pendidikan sehingga para putus sekolah tidak mengganggu kesejahteraan social.
Sejurang-kurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan, yaitu sebagai
berikut.
1. Langkah
preventif, yaitu dengan membekali para peserta didik keterampilan-keterampilan
praktis dan bermanfaat sejak dini agar kelak bila diperlukan dapat merespon
tantangan-tantangan hidup dalam masyarakat
secara positif sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi beban masyarakat
atau menjadi parasit dalam masyarakat. Misalnya, keterampilan-keterampilan
kerajinan, jasa, perbengkelan, elektronika, PKK, fotografi, batik, dan lain
sebagainya.
2. Langkah
pembinaan, yaitu dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan praktis yang
mengikuti perkembangan atau pembaruan zaman, melalui bimbingan dan
latihan-latihan dalam lembaga-lembagai sosial atau pendidikan luar sekolah,
seperti LKMD, PKK, klompencapir, karang taruna, dan sebagainya.
3. Langkah
tindak lanjut, yaitu dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
mereka utntuk terus melangkah maju melalui penyediaan fasilitas-fasilitas
penunjang sesuai kemampuan masyarakat tanpa mengada-ada, termasuk membina
hasrat pribadi untuk berkehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Misalnya,
memberikan penghargaan, bonus, keteladanan, kepahlawanan, dan sebagainya,
sampai berbagai kemudahan untuk melanjutkan studi dengan program belajar jarak
jauh, seperti universitas terbuka, sekolah terbuka, dan sebagainya. Juga
melalui koperasi dengan berbagai kredit, seperti KIK, KCK, kredit profesi, dan
sebagainya (Nasution, 1983: 71-73).
Ada berbagai latar
belakang kemunculan putus sekolah dalam dunia pendidikan kita. Kebanyakan
adalah persoalan ekonomi. Orang tua siswa tidak mampu membiayai anaknya untuk
melanjutkan sekolah. Kekuatan dan kekuasaan ekonomi mereka hanya mampu
dipergunakan untuk biayahidup sehari-hari. Tidak jarang anaknya yang sedang
sekolah melakukan kerja untuk membantu orang tuanya mencukupi kebutuhan
sehari-hari seluruh anggota keluarga
tersebut. Biasanya, kerja atau bantuan anak tersebut dilakukan setelah ia
pulang sekolah, sampai menjelang waktu memasuki malam, ada juga sampai malam.
Terkadang, ada juga dilakukan sebelum ia berangkat sekolah dan setelah ia
pulang sekolah,. Pekerjaan tersebut bisa dari ikut berjualan di pasar, jualan
koran, cari pasir, memecah batu, membuat batu bata, mencari ikan, mencari kayu,
dan lain sebagainya.
Pada kasus anak putus sekolah karena
alasan ekonomis dan anak yang terpaksa melakukan kerja selain belajar,
pekerjaan tersebut dilakukan tentunya ikut mengurangi konsentrasi proses
belajarnya di sekolah tersebut. Fisiknya akhirnya banyak terkuras dalam kerja
tersebut, sementara proses belajar yang menggunakan nalar ikut berkurang karena
kecapaian tersebut. Terkadang, ketika ia sudahmelakukan atau membantu orang
tuanya mencukupi kebutuhan sehari-hari, pekerjaan tersebut tidak bisa membantu
keluarganya dalam mencukupi kebutuhan ekonomi dasar, seperti makanan, dengan
kasus keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga besar. Itu membuat sang
anak menjadi berpikir terlalu keras pula, sementara sekolah yak bisa
diabaikannya dan menuntutnya untuk berpikir, memahami pelajaran yang diajarkan
guru di sekolah, akhirnya menimbulkan kelelahan fisik, psikis dan pikiran, tak
jarang akhirnya ia kecapaian, jatuh sakit, dan kemudian menyebabkan ia jarang
masuk sekolah. Proses selanjutnyam orang tuanya mendorong anaknya focus dalam
kerja saja sementara sang anak tersebut tentu tak punya pilihan lain, melihat kondisi
orang tuanya kecapaian karena sudah tua, sulit membiayai kebutuhan sehari-hari,
sementara adik-adiknya membutuhkan makan, akhirnya ia memilih untuk putus
sekolah.
Ada juga sebab putus sekolah karena
sang anak memiliki persoalan di sekolah, memiliki musuh, baik itu seniornya,
teman seangkatannya, adik kelasnya, yang itu tidak membuatnya nyaman. Atau, ia
melakukan perbuatan tidak bermoral, perbuatan keji, melakukan kekerasan, dan
pelecehan seksual karena kemajuan teknologi dan informasi dunia internet atau
melalui tayangan televise, seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau melakukan
kekerasan pada teman sekolahnya yang mengakibatkan kerusakan fisik atau cacat
fisik, dan itu mengakibatkannya bukan hanya berurusan dengan tata tertib
sekolah, dengan keluarga pihak korban, tapi juga berlanjut dengan pihak aparat
berwenang, yang mengakibatkan ia dipenjara, untuk kasus pelajar sekolah
menengah atau sudah mahasiswa.
Temuan
selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan, mulai dari pemulung,
penjual koran, petugas parker liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan
perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan took dan restaurant,
pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan
ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual
sayur, dan penyemir sepatu. Ada juga factor lain yang menyebabkan anak terancam
putus sekolah yaitu karena melakukan tindak kriminal.
Menurut data organisasi Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB yang merilis Indeks Pembangunan Pendidikan
(education development index)
menyebutkan penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan
untuk semua. Salah satunya disebabkan oleh tingginya angka putus sekolah di
jenjang sekolah dasar.
Persoalan masih tingginya angka putus
sekolah juga diakui oleh Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh dalam suatu
kesempatan di tahun 2010.siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP putus
sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu, sekitar 920.000 lulusan
SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan beragam alasan. Sedangkan,
lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi.
Selain persoalan ekonomi yang
menjadikan banyaknya angka putus sekolah, ada sebab lain, yaitu berkaitan
dengan susahnya mengakses sekolah karena persoalan jaraknya jauh. Hal tersebut
kebanyakan terjadi di wilayah terpencil, Indonesia bagian timur, akibat dari
proses pembangunan yang tidak merata dan selama ini terfokus pada Jawa. Selain
itu,ada faktor bencana alam yang menyebabkan anak terancam putus sekolah. Hal
tersebut bisa dicontohkan dengan bencana alam seperti gempa bumi, gunung
meletus, tsunami, yang terjadi di Jogjakarta dan Aceh. Bencana yang terjadi
menghancurkan sekolah, rumah, dan hasil pertanian mereka. Hal demikian jika
tidak ditangani secara luar biasa dapat menyebabkan jumlah anak putus sekolah
semakin banyak.
Penyebab lain anak putus sekolah adalah
keluarga, seperti perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga. Melihat
berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya putus sekolah dari peserta
didik baik itu bersal dari sekolah, rumah, maupun masyarakat, dan faktor dari
kepribadian peserta didik. Maka, penanganan atas persoalan tersebut harus
dilakukan secara holistik. Penanganan tersebut juga memerlukan kerja sama semua
pihak yang menciptakan suasana bagi peserta didik tidak memiliki keputusan
untuk putus sekolah.
Misalnya, pihak sekolah memberikan
perhatian kepada peserta didik dari kalangan ekonomi rendah dengan memberikan
program beasisa,pendidikan gratis, atau member kelonggaran atas biaya
sekolahnya. Kemudian, membangun dialog dengan orang tua peserta didik bagi
kemajuan dan keberlangsungan peserta didik, dengan sering mengunjungi rumah
peserta didik atau mengundang orang tua peserta didik membicarakan semua
persoalan yang ada berkaitan dengan persoalan peserta didik yang dikhawatirkan
memiliki potensi putus sekolah, dengan jalan yang baik dan bijaksana tanpa
pernah mencampuri urusan rumah tangga secara lebih jauh yang mengakibatkan
semakin runyamnya persoalan yang ada. Atau, bekerja sama dengan tokoh
masyarakat, tokoh agama sehingga dapat memberikan semangat pada peserta didik
bisa tetap meneruskan sekolahnya, entah itu karena adanya persoalan ekonomi,
keluarga, atau adanya ketegangan atau konflik di sekolahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar