Stuktur
dan Interaksi Sosial di Dalam Institusi Pendidikan
Stuktur sosial
di dalam institusi pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Materialnya (jumlahnya orang, pria, wanita, dewasa, anak,
guru, murid, dan sebagainya).
b. Hubungan antara bagiannya (apa yang diharapkan guru dari
murid dan sekolahnya, dan sebagainya).
c. Hakikat masyarakat itu sebagai keseluruhan, yakni caranya
bagian-bagiannya menjadi kesatuan yang bulat agar dapat mrnjalankan fungsinya.
Material bagi
sekolah adalah kepala sekolah, guru, pegawai, pesuruh, dan murid-murid pria
maupun wanita yang masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan. Srtuktur
sosial mempunyai sistem kedudukan dan peranan anggota-anggota kelompok yang
kebanyakan bersifat heirarkis, yakni dari kedudukan yang tinggi yang memegang
kekuasaan yang paling banyak sampai pada kedudukan yang paling rendah. Struktur
itu memungkinkan sekolah menjalankan fungsinya sebagai lembaga edukatif dengan
baik. Masing-masing mempunyai kedudukan tertentu dan menjalankan peranan
seperti yang diharapkan kedudukan itu. Dengan demikian, dapat dicegah berbagai
konflik dan dapat dijamin kelancaran segala usaha pendidikan. Kedudukan atau
status menentukan posisi seseorang dalam struktur social, yakni menentukan
hubungan dengan orang lain, bagaimana orang tua atau guru memperlakukan anak
dan sebaliknya. Cara-cara seseorang membawakan peranannya dapat berbeda menurut
kepribadian seseorang. Guru dapat bersikap otokratis atau demokratis dalam
menjalankan peranannya. Nasution (dalam Rifa’I, 2011:95).
Kepala Sekoalah
Kedudukan kepala sekolah dalam struktur sosial sekolah
yang paling tinggi di sekolah. Kedudukan tersebut diperoleh karena pengalaman,
masa kerja, dan pendidikannya. Dari kedudukan tersebut, ia berhak mengambil
keputusan yang harus dipatuhi seluruh anggota sekolah. Kepala sekolah merupakan
perantara, antara atasan, yakni yakni kanwil dengan guru-guru. Keputusan
Menteri Pendidikan dsampaikan oleh kanwil melalui kepala sekolah kepada
guru-guru dan murid-murid. Karena pola kedudukan dan wewenangnya tersebut,
kepala sekolah sering menjadi konsultan yang memberikan petunjuk, nasihat, dan
saran kepada guru-guru dalam usaha untuk memperbaiki mutu sekolah. Ia dianggap
lebih bijaksana untuk mengatasi masalah-masalah antara guru dan murid, juga
antar sesame guru.
Menurut Nasution (dalam Rifa’i, 2011:97) kepala
sekolah juga memegang kepemimpinan di sekolah dan ia diharapkan sanggup member
pimpinan dalam segalsa hal yang mengenai sekolah. Pada satu pihak, guru-guru
mengharapkan keputusan dan tindakan yang tegas. Kepala sekolah harus dapat
bergerak diantara harapan-harapan yang bertentangan itu. Kepala sekolah
merupakan pimpinan di sekolah mengnenai soal-soal pendidikan. Akan tetapi tugas
kepala sekolah tidak hanya menjadi bos. Hal tersebut tergantung oleh kondisi
sekolah tersebut. Di sekolah yang kesil, khususnya yang tidak mempunyai pegawai
administrasi, kepala sekolah sering harus berfungsi petugas administrasi, mengurus
korespondensi, mengatur surat kepada berbagai instansi, membuat laporan-laporan
dan sebagainya. Akan tetapi kepala sekolah di sekolah menengah biasanya dibantu
oleh pegawai administrasi. Posisi kepala sekolah dapat dipahami lewat Kepmen
Pendidikan dan Kebudayaan No. 0296/U/1996, tentang pembatasan kepala sekolah.
Kepala sekolah adalah guru yang diberikan tambahan tugas struktural. Dengan
demikian jika masa tugas selesai, dengan sendirinya akan kembali sebagai guru
sepenuhnya.
Ketika di sekolah kepala sekolah bisa seenaknnya
menunjuk dan menyuruh murid, tukang kebun, satpam, guru, dan petugas
administrasi untuk melakukan perintahnya, tetapi hal tersebut belum tentu bisa
ia lakukan dalam keluarga atau dalam kehidupannya sebagai warga masyarakat. Tidak
sedidkit kepala sekolah yang terjun di masyarakat menjadi warga biasa yang
harus menaati peraturan desa dan lain-lain. Akan tetapi ada yang tak berubah
dari kebanyakan prilaku kepala sekolah, yaitu menjaga segala yintak laku dan
perbuatan. Perbuatan sopan, tidak mengganggu orang lain, membantu orang lain,
raman dan berusaha memimpin suatu perbuatan dari kepentingan bersama, seperti
gotong royong. Di dalam bergaulpun dipilihnya orang yang tidak sembarangan,
yang sederajat. Kalau di bawahannya, selalu dibuat imej, dibuat jarak sehingga
orang tersebut tidak terlalu mengetahui tentang dirinya atau kehidupan
keluarganya.
Guru
Nasution (dalam
Rifa’i, 2011:103) menyebutkan bahwa dari penelitian di Amerika Serikat,
sebagian besar guru-guru berasal dari golongan menengah-rendah, seperti petani,
pengusaha kecil, buruh harian, dan sebagian kecil saja yang hanya dari
golonganm profesional atau golongan tinggi. Guru akan membawa norma-norma dan
kebudayaan yang diperolehnya melalui pendidikan dari orangtuanya ke dalam kelas
yang diajarnya. Di dalam kelas, guru memiliki daya utama yng menentukan
norma-norma di dalam kelasnya dan otoritas guru sukar dibantah. Ia menuntut
agar anak-anak menghadiri setiap pelajaran agar mereka berlaku jujur dalam
ulangan, datang pada waktuny ke sekolah, dan melakukan tugasnya dengan penuh
tanggung jawab. Tentang peraturan-peraturan sekolah telah ada yang ditentukan
oleh pemerintah ada pula oleh kepala sekolah dan staf guru, misalnya mengenai
kehadiran di sekolah, larangan merokok, ,membayar iuran sekolah tepat waktu dan
lain sebagainya.
Kedudukan
gurupun beragam sesuai dengan tingkatan mengajarnya. Pada umunya, kedudukan
guru SMP lebih tinggi daripada guru SD, tetapi lebih rendah daripada guru SMA.
Petugas inspeksi yang bertugas mengawasi sekolah dianggap lebih tinggi pula
kedudukannya daripada guru maupun kepala sekolah. Kedudukan guru juga
ditentukan oleh lama masa kerja. Di dalam bukunya, Nasution menjelaskan
mengenenai kepribadiaan dan perkembangan kepribadian dari seorang guru. Kajian
ini penting untuk melihat kedalaman sisi sosial dari anggota masyarakat dalam
komunitas pendidikan. Guru merupakan sumber utama bagi murid-muridnya, namun
pada umunya orang tidak memandang guru sebagai orang yang pandai yang mempunyai
intelegensi tinggi. Orang yang ber IQ tinggi akan menjadi dokter atau insinyur
dan tidak menjadi guru walaupun dalam kenyataan terbukti bawha guru yang
beralih jabatanyya dapat menjalankan tugasyna dengan baik sebagai jendral,
gubenur, menteri, dan lain-lain. Walaupun demikian orang tetap berpegang pada
stereotip guru.
Perkembngan
kepribadian guru narasinya adalah sebagai berikut. Kepribadian guru terbentuk
atas pengaruh kode kelakuan seperti yang diterapkan oleh masyarakat dan sifat
pekerjaannya. Guru harus menjalankan peranannya menurut kedudukan dalam
berbagai situasi sosial. Pola hubungan antara guru dengan murid dapat
dinarasikan sebagai berikut. Dalam situasi kelas guru menghadapi sejumlah murid
yang harus dipandang sebagai anaknya. Sebaliknya, murid-murid akan
memperlakukannya sebagai bapak dan ibu guru. Sementara itu, pola hubungan guru
di luar sekolah, kebanyakan orang tua murid akan memandang guru sebagai patner
yang setaraf kedudukannya dan mempercayakan anak mereka untuk diasuh oleh guru
mereka. Di luar pekerjaannya ia bebas berkelakuan menurut kehendaknya tanpa
terikat oleh jabatannya. Akan tetapi, guru diharapkan senantiasa berkelakuan
sebagai guru selama 24 jam sehari.
Kedudukan sebagai guru akan membatasi kebebasannya dan
dapat pula membatasi pergaulannya. Ia akan mencari pergaulan terutama dari
kalangan guru yang sependirian dengan dia. Tentunya, stereotip guru beragam.
Menurut Nasution (dalam Rifa’i, 2011:108) secara garis besar, terdapat beberapa
ciri-ciri stereotip guru, yaitu sebagai berikut:
a. Guru tidak memperlihatkan kepribadiaan yang fleksibel. Ia
cenderung mempunya pendirian yang tegas dan mempertahankannya.
b. Guru pandai menahan diri. Ia hati-hati dan tidak segera
menceburkan diri dalam pergaulan orang lain. Karena itu, ia tidak dapat
memberikan partisipasi penuh dalam kegiatan social.
c. Guru cenderung m,enjauhkan diri karena hambatan bati untuk
bergaul secara intim dengan orang lain. Orang lain juga sukar untuk mengadakan
hubungan akrab dengan guru.
d. Guru berusaha menjaga diri dan merasa keterikatan kelakuannya
padfa norma-norma yang berkenaan dengan kedudukannya.
e. Guru cenderung bersikap otoriter dan ingin menggurui dalam
diskusi. Sebagai orang yang serba tau dalam kelas, ia akan memperlihatkan sikap
yang sama di luar kelas.
f. Guru cenderung bersikap konservatif, baik dalam pendiriannya
maupun dalam hal-hal lahiriah, seperti mengenai pakaian. Sebagai guru, ia
bertugas menyampaikan kebudayaan nenk moyang kepada generasi muda.
g. Guru pada umunya tidak di dorong oleh motivasi yang kuat
untuk menjadi guru. Seorang memasuki lembaga pendidikan guru sering karena
pilihan lain tertutup.
h. Guru pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk
mencapai klemajuan.
i. Guru lebih cenderung mengikuti pimpinan daripada member
pimpinan.
j. Guru dipandang kurang agresif dalam menghadapi berbagai
masalah.
k. Guru cenderung memandang guru-guru sebagai kelompok berbeda
dari golongan pekerja lainnya. Kecenderungan ini turut menimbulkan stereotip
guru.
l. Guru menunjukkan kesedihan untuk berbakti dan berjasa.
Profesi keguruan,
khusunya pada tingkat SD, makin lama makin banyak dipegang oleh wanita, bahkan
di Amerika atau di Jepang dengan guru pada tingkat SD selalu dimaksud ibi guru.
Bila guru kebanyakan terdiri dari wanita, seperti di SD, jabatan guru akan
diidentifikasikan dengan pekerjaan wanita sehingga kaum pria akan menjauhinya
bila ada pekerjaan lain.
Menurut Nasution (dalam
Rifa’i, 2011:108), profesi guru memiliki ketegangan yang disebabkan oleh
beberapa hal berikut.
a. Tiap pekerjaan mengandung aspek-aspek yang
dapat menimbulkan ketegangan, apakah pekerjaan sebagai diplomat, penerbang,
sopir, dokter, ataupun guru. Orangb ingin mencari kepuasaan dalam pekerjaanya,
tetapi tidak selalu kepuasan itu diperoleh karena ada yang menghalanginya.
Kepuasan yang dicari oleh berbagai individu berbeda-beda. Gaji pekerja atau
pegawai pada umunya tidak tinggi dibandingkan dengan gaji orang di
Negara-negara maju, atau dibandingkan dengan guru di Malaysia atau di
Singapura. Walaupun gaji guru tidak lebih rendah dari gaji resmi
pegawai-pegawai lain, pendapatan guru pada umumnya lebih rendah. Bukan hanya di
Negara kita, juga di Negara-negara lain, guru banyak mengeluh tentang gajinya.
Di Amerika Serikat, misalnya, gaji buruh kasar sering melebihi gaji guru.
Mengenai status guru di dalam masyarakat, dapat kita selidiki pendapat orang
banyak. Guru banyak berasal dari golongan rendah atau menengah-rendah dan
memendang jabatan sebagai guru sebagai jalan untuk mendapatkan status yang
lebih tinggi. Status guru yang tidak begitu tinggi dimata masyarakat dan status
yang tidak jelas sebagai guru mungkin akan mengecewakannya dan dapat mengganggu
kestabilan dan kepribadiannya.
b. Sumber ketegangan lain bagi guru adalah
otoritas guru untuk menghukum atau member penghargaan kepada murid. Tidak
selalu sama pendapat masyarakat apa yang harus dihargai atau dihukum sehingga
dapat menimbulkan ketegangan. Semua orangtua menginginkan adanya disiplin,
tetapi jika anaknya diberi hukuman karena terlambat, atau terdapat merokok, ada
orang tua yang menganggap hukuman itu terlampau keras atau tidak pada
tempatnya. Sebaliknya, ada orangtua yang mengingatkan agar anaknya diberi
hukuman yang keras, bahkan diberi hukuman jasmani yang tidak dapat diterima
oleh guru. Demikianlah guru berada pada titik silang berbagai harapan dan
tuntutan.
c. Ketegangan juga dapat ditimbulkan oleh
persoalan apakah pekerjaan guru dapat diakui sebagai profesi. Tanpa melalui
pendidikan keguruan, seseorang dapat mengajar. Hal yang tidak mungkin terjadi
dalam profesi dokter atau hukum. Diadakannya akta IV/V dapat dipandang sebagai
pengakuan atas perlunya pendidikan khusus keguruan dapat mengajar dengan
tanggung jawab.
Sumber ketegangan
juga terletak dalam pekerjaan guru di dalam kelas. Di situ diuji kemampuannya
dalam profesinya, kesanggupannya untuk mengatur proses belajar mengajar agar
berhasil baik sehingga memuaskan bagi setiap murid. Gangguan disiplin,
kenakalan, kemalasan, ketidakmampuan, kebodohan anak dapat menjadi sumber
ketegangan dan frustasi bagi guru yang benar-benar melibatkan diri dalam proses
itu. Nasution (dalam Rifa’i, 2011:111).
Profesi guru juga memilikin kesenjangan yang bisa
menimbulkan konflik internal dan eksternal. Kesenjangan yang dapat menimbulkan
konflik di antara para guru antara lain sebagai berikut.
1) Kesenjangan antar para guru dan birokerat, yang memperoleh
tunjangan stuktural yang kini naik melangit disertai fasilitas lainnya. Keadaan
ini telah membuat kesenjangan dari berbagai segi, apalagi kalau birokerat itu
memperlakukan guru sebagai bawahan, yang harus tunduk dalam segala-galanya.
2)Kesenjangan antara guru dan dosen. Ketika dosen sudah lama
memperoleh tunjangan fungsional, guru hanya sekedar mendapat apa yang disebut
tunjangan tenaga pendidikan. Kesenjangan tidak hanya dari segi jumlah
nominalnya, tapi ada rasa diskriminatif seolah-olah dosen berada dalam kasta
yang lebih tinggi.
3) Kesenjangan guru menurut jenjang pendidikan, misalnya antara
guru SD dan guru SLTP dan SLTA, yang di masa lalu berada di lingkungan
pengelolaan yang berbeda.
4) Kesenjangan antara pegawai negeri yang digaji oleh Negara dan
guru pegawai swasta yang digaji oleh pihak swasta. Kesenjangan terjadi tidak
hanya dalam soal gaji, tapi juga dalam hal perlakuan.
5) Kesenjangan antara guru pegawai tetap dan dan guru pegawai
tidak tetap atau honorer yang tidak seimbanmg dengan tuntutan kerja.
6)Kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dan guru
yang bertugas di wilayah pedesaan atau daerah terpencil, terutama dalam hal
pendapatan, kesempatan melanjutkan studi, kesempatan mengikuti perkembangan,
dan tugas yang lebih berat. Surya (dalam Rifa’i, 2011:112).
Dari sinilah kemudian Surya memberikan penilaian atas
keberadaan guru, terutama zaman sekarang. Guru di zaman sekarang berada dalam
posisi tersandung, terjebak, atau terbebani, hali ini dikaitkan dengan jabatan
guru selalu dikaitkan dengan rujukan nilai-nilai bersifat normatif sehingga
dipandang sebagai jabatan mulia. Masyarakat tidak mau tahu, yang penting guru
harus berprilaku sesuai dengan norma itu. Di masa lalu dalam kondisi kehidupan
social budaya yang masih homogeny, mungkin hal itu dapat diwujudkan oleh guru.
Namun, zaman telah berubah karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Telah terjadi pergeseran nilai yan menjurus ke hal-hal yang bersifat materialis dan
lahiriah. Dengan perkembngan itu banyak pihak yang telah memperoleh peningkatan
kualitas kehidupan dalam aspek status sosial dan ekonomi, sementara para guru
masih tertinggal jauh dan dibiarkan terus tertinggal. Guru dengan penuh
kesadaran telah berusaha untuk mewujudkan kinerjanya sesuai dengan tuntutan dan
harapn masyarakat. Namun, guru masih tetap dituntut tanpa keberpihakan untuk
memperhatikan realitanya sebagai manusia. Keadaan inilah yang membuat guru
tersandung. Dalam suasana reformasi yang ditandai dengan keterbukaan dan
demokratisasi, guru mencoba keluar dari belenggu-belenggu sanjungan yang justru
sering membuat terpasung dan resandung.
Interaksi Sosial Guru dengan Murid
Di dalam situasi
formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak dalam kelas, guru
harus sanggup menunjukkan kewibawaan atau otoritasnya. Artinya, guru harus
mampu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol kelakuan anak. Adanya kewibawaan
guru dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain sebagai berikut.
a. Anak-anak secara langsung mengharapkan guru yang berwibawa
dapat bertindak tegas untuk menciptakan suasana disiplin dan mereka bersedia
mengakui kewibawaan itu. Bila ada guru baru, mereka sering menguji sejauh mana
kewibawaan guru itu.
b. Guru dipandang sebagai pengganti orang tua, lebih-lebih pada
tingkat SD. Bila di rumah anak mematuhi ibunya, lebih mudah ia menerima dan
mengakui kewibawaan ibu guru.
c. Pada umumnya, tiap orang mendidik anaknya agar patuh kepada
guru. Bila orang tua senantiasa memihak guru dalam segala tindakannya, guru
lebih mudah menegakkan kewibawaannya.
d. Guru dapat memelihara kewibawaannya dengan menjaga adanya
jarak sosial antara dirinya dengan murid. Kewibawaan akan lenyap bila guru
terlampau akrab dengan murud dan bersenda gurau dengan mereka.
e. Guru harus selalu disebut “Ibu guru” atau “Pak guru” dan dengan
julukan itu memperoleh kedudukan sebagai orang yang dituakan.
f. Dalam kelas, guru duduk atau berdiri di depan murid. Posisi
menonjol itu memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada murid yang harus
duduk tertib di bangku tertentu.
g. Guru disediakan ruang guru khusus yang tak boleh dimasuki
murid begitu saja.
h. Guru-guru muda yang ingin bergaul dengan murid sebagai kakak
akan dinasihati oleh guru-guru yang berpengalaman agar menjaga jarak dengan
murid dan jangan terlampau dekat dengan mereka.
i. Wibawa guru juga diperoleh dari kekuasaannya untuk menilai
ulangan atau ujian murid dan menentukan angka rapor dengan demikian guru
menentukan nasib murid. Murid sangat menyegani pengajar yang memegang kekuasaan
itu.
j. Kewibawaan yang sejati diperoleh guru berasarkan kepribadiannya.
Kepribadiaan diperoleh dengan mewujudkan norma-norma yang tinggi pada diri
guru, seperti tanggung jawab, ketaatan pada waktu, kesabaran, ketekunan,
kejujuran, dan sebagainya.
k. Di dalam situasi sosial informal, guru dapat mengendurkan
hubungan formal jarak sosial, misalnya sewaktu rekreasi, berolahraga,
berpiknik, atau kegiatan lainnya. Guru hendaknya dapat menyesuaikan peranaannya
menurut situasi sosial yang dihadapinya. Akan tetapi, bergaul dengan murid
secara akrab sebagai sahabat dalam situasi belajar dalam kelas akan menimbulkan
kesulitan disiplin bagi murid. Hubungan antara guru dan murid mempunyai sifat
yang relatif stabil, yaitu sebagai berikut.
l. Ciri khas hubungan ini ialah bahwa terdapat status yang tak
sama antara guru dan murid. Guru itu secara umum diakui mempunyai status lebih
tinggi dank karena itu dapat menuntut murid untuk menunujukkan kelakuan yang
sesuai dengan hubungan sifat itu.
m. Dalam hubungan guru murid biasanya hanya murid yang
diharapkan mengalami perubahan kelakuan sebagai hasil belajar. Setiap orang
yang mengajar akan mengalami perubahan dan menambah pengalamannya, tetapi tidaj
diharuskan menunjukkan perubahan kelakuan. Sedangkan, murid harus
memperlihatkan bahwa ia telah mengalami perubahan kelakuan.
n. Aspek ketiga ini nerkaitan dengan aspek kedua, yakni bahwa
perubahan kelakuan yang diharapkan mengenai hal-hal tertentu yang lebih
spesifik, misalnya agar anak menguasai bahan pelajaran tertentu. Demi hasil
belajar yang diharapkan, diduga guru harus dihormati dan dapat memelihara
jarakl dengan murid agar ia dapat berperan sebagai model bagi muridnya.
o. Guru akan lebih banyak memengaruhi kelakuan murid bila dapat
memberi pelajaran dalam kelas hubungan itu sepihak, seperti terdapat dalam
metode ceramah. Akan tetapi, hubungan interaktif dengan partisipasi yang
sebanyak-banyaknya dari pihak murid. Nasution, 1983 (dalam Rifai, 2011:117-118)
Pada umunya,
guru yang disenangi ialah guru yang sering dimintai nasihatnya, mau diajak
bercakap-cakap dalam suasana menggembirakan, tidak menunjukkan superioritasnya
dalam pergaulan sehari-hari murid, selalu ramah, dan selalu berusaha memahami
anak didik. Sebaliknya, guru tidak disukai bila ia sering marah, tak pernah
ketawa, suka menyendiri, tak mau membantu anak dalam kesulitan belajar, dan
menjauhkan diri dari murid di luar kelas. Guru serupa ini ternyata juga bukan
guru yang mengajar baik. Jadi, tanggapan murid tentang baik tidaknya seorang
guru erat hubungannya dengan disukai atau tidak disukainya tindakan guru.
Interaksi Antar Guru
Dikalangan guru-guru,
sering terjadi interaksi-interaksi yang mengerucut pada pengelompokkan atau
pembentukan klik yang bersifat informal. Ada kelompok yang dibentuk berdasarkan
jenis kelamin, minat profesional, dan ada pula kelompok yang bersifat sosial
bagi guru pria dan wanita yang berkumpul pada waktu-waktu tertentu untuk
melakukan kegiatan yang menggembirakan.
Interaksi atau
hubungan dalam klik informal sering memegang peranan dalam mengambil keputusan.
Maka besar faedahnya bila kepala sekolah mengetahui adanya berbagai kelompok
serta hubungan antar kelompok itu, atau pertentangan diantaranya. Pengetahuan itu dapat membantu kepala sekolah
untuk menggerakan seluruh staf guru untuk tujuan tertentu. Ia dapat bekerja dan
mencapai tujuannya melalui kelompok informal ini. Guru-guru lebih mudah
menerima sesuatu melalui guru-guru yang dipandang sebagai sahabat. Mungkin juga terdapat persaingan antar
kelompok yang dapat dimanfaatkan kepala sekolah untuk berlomba-lomba mencapai
prestasi yang lebih baik. Akan tetapi, persaingan antar kelompok dapat
mempunyai pengaruh merugikan.
Interaksi antar
guru juga terjadi melalui wadah resmi, KORPRI dan PGRI. Sebagai pegawai negeri
dan anggota KORPRI, tiap guru harus menaati segala peraturan kepegawaian dalam
melakukan tugasnya. Bagi guru, berarti bahwa ia harus hadir pada tiap pelajaran
agar jangan merugikan murid. Perkumpulan guru juga akan menggambarkan peranan
guru. PGRI, misalnya bersifat profesional yang bertujuan untuk meningkatkan
mutu pendidikan dan sekalipun juga disebut perbaikan nasib guru, namun
guru-guru pada umumnya kurang dapat menerima perkumpulan guru sebagai serikat
buruh. Kegiatan mengajar dan mendidik sejak dulu dipandang sebagai profesi
kehormatan yang tidak semata-mata ditunjukan kepada keuntungan material.
Staf Administrasi, Satpam, dan Tukan Kebun
Secara formal,
kedudukan mereka lebih rendah daripada kepala sekolah dan tenaga pengajar.
Namun yang pasti, staf administrasi tentunya lebih tinggi kedudukannya
ketimbang satpam atau tukang kebun dalam struktur sosial sekolah. Sementara,
satpam dan tukang kebun bisa dikatakan sama atau sederajat dalam struktur
sekolah. Hierarki itu juga diterima oleh yang bersangkutan dan oleh masyarakat.
a.
Staf Administrasi
Para staf administrasi berhubungan erat dengan guru, berkaitan dengan
absensi pengajaran guru, lama masa bakti guru, urusan gaji, kepindahan
pengajaran ke sekolah lain, dan menfurus masa cuti. Sementara, staf
administrasi dengan kepala sekolah pola hubungannya berkaitan dengan absensi
kepala sekolah, mengurus masa cuti, dan sebagainya. Sementara, pola hubungan
dengan murid berkaitan dengan pengelompokkan dan penataan administrasi absensi
murid dalam semua kelas, urusan kenaikan kelas, pindah sekolah, cuti sekolah,
dan urusan beasiswa sekolah bagi murid.
Pola hubungan yang tidak resmi sering dilakukan ketika masing-masing
pelaku sosialnya tidak dalam kondisi sedang bekerja. Itu biasanya dilakukan
ketika sebelum masuk sekolah-sebelum proses belajar mengajar dimulai, ketika
jam istirahat dan setelah jam pelajaran selesai. Biasanya staf administrasi
melakukan hubungan dengan rekan sekerjanya karena relatif dekat dari berbagai
segi. Kalau tidak begitu mereka berhubungan dengan guru, kepala sekolah, tukan
kebun, Maupun satpam.
Di luar sekolah, para staf administrasi memiliki peran dan kedudukan yang
berbeda dengan sekolah. Terkadang mereka menjadi warga biasa, ada juga sebagai
petugas pembayaran listrik tingkat desa, dan ada juga yang membantu
administrasi tempat ia tinggal. Sedangkan pola hubungan mereka relatif lebih
bebas dan tidak dituntut moral secara ketat sebagaimana layaknya guru dan
kepala sekolah dalam masyarakat.
b.
Tukang Kebun/Petugas Kebersihan
Kedudukan dan peranan dari
tukang kebun atau petugas kebersihan adalah membersihkan sekolah dari segala
kotoran, misalnya menyapu halaman sekolah, memotong rumput liar, menata tanaman
hias sekolah, serta menjaga kebersihan kamar mandi dan wc. Terkadang mereka
bertempat tinggal dalam sekolah tersebut sekaligus sebagai keamanaannya, tapi
ada juga yang bertempat tinggal di luar sekolah karena jaraknya yang tidak
terlalu jauh dari sekokah.
Pola interaksi sosialnya di
dalam sekolah kebanyakan dari menerima perintah, baik dari guru maupun kepala
sekolah, yang suatu saat mereka mengecek kebersihan, keindahan, dan keasrian
dari sekolah tersebut. Kemudian, jika ada yang kurang, guru atau kepala sekolah
menyuruh memperbaikinya kepada tukang kebun/petugas kebersihan tersebut. Adanya
pola hubungan sosial di luar tugas kerjanya dilakukan disaat para guru, kepala
sekolah, dan yang lainnya atau dirinya sendiri sedang tidak bekerja. Ketika
mereka berhubungan dengan murid, tak segan mereka menyuruh murid untuk menjaga
kebersihan, membuang sampah pada tempatnya, dan menasihati murid-murid agar
kalau bermain jangan keterlaluan. Terkadang peran mereka seperti guru atau
orang tua murid di sekolah, yakni menasihati agar murid giat belajar dan tekun.
Sementara itu, kedudukan dan
peranannya di masyarakat di luar sekolah bisa jadi warga biasa, ada juga yang
menjadi petugas kebersihan dib alai desa, ada juga yang ikut membantu pengairan
sawah bagi petani di desa. Namun, jarang dari mereka yang bisa memiliki posisi
penting di masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan desa tersebut, seperti
menjadi ketua RT, RW, kadus, carik, apalagi kades. Apabila mereka memiliki
jabatan tersebut, biasanya mereka melepas pekerjaanya sebagai petugas
kebersihan atau tukang kebun di sekolah.
c.
Petugas Keamanan/Satpam
Tugas mereka adalah menjaga
keamanan barang milik sekolah, baik meja kursi untuk proses belajar mengajar,
peralatan kantor dari sekolah tersebut, maupun kendaraan milik kepala sekolah,
guru, dan staf administrasi. Selain itu, mereka juga menjaga keamanan kalau
terjadi pertikaian, apalagi tawuran antara anggota sosial dalam sekolah,
misalnya misalnya perkelahian antar murid. Oleh karena itu, kedudukan mereka di
bawah kepala sekolah, guru, dan staf administrasi. Akan tetapi, secara pasti
tugas mereka berkaitan dengan menjaga keamanan sekolah.
Pola hubungan sosialnya
terjadi tebih banyak ketika sedang tidak melakukan tugas berat. Kebanyakan ada
dua macam hubungan sosial mereka sengan sesama rekannya sebagai petugas
keamanan sekolah. Pertama, dengan petugas
kebersihan atau tukang kebun yang posisinya relatif sama, yaitu
sama-sama pekerja lapangan. Kedua, pola hubungan sosial dengan kepala sekolah,
guru, maupun staf administrasi lebih banyak terjadi ketika mereka sedang tidak
bekerja. Sementara itu, kedudukan sosialnya di luar sekoalah relatif tidak
berbeda. Bisa jadi, ia adalh warga biasa, bisa berhubungan dengan posisinya di sekolah,
yaitu menjadi petugas keamanan di desa, menjadi hansip. Akan tetapi, sangat
tidak mungkin atau jarang ia menjadi pemangku kebijakan sebuah desa, misalnya
jadi ketua RT, RW, kadus, carik, apalagi kades. Kalau ia memiliki posisi
tersebut, tentunya atau kebanyakan yang terjadi adalah mereka melepaskan
pekerjaannya sebagai keamanan di sekolah.
Murid
Latar belakang
sosial ekonomi para murid di sekolah tidaklah bisa diseragamkan dalam sebuah
kelas sosial tertentu. Hal tersebut tergantung dari kondisi, pekerjaan,
kekayaan, kedudukan, dan peranan sosial orangtuanya di sebuah masyarakat. Bisa
jadi, orang tua murid itu dari kalangan atas, pengusaha, politisi, ada juga
yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, anaknya pedagang pasar, anaknya
petani kecil, maupun anaknya buruh tani maupunburuh pabrik. Oleh karena itu,
latar belakang murid maupun kondisi kelasnya sangat plural. Hal tersebut jga
tergantung dari keberadaan sekolah tersebut, apakah di pedesaan, pegunungan,
daerah pantai, perkotaan, maupun daerah terpencil ataupun wilayah perbatasan.
Kalau di sekolah tersebut berada di daerah pedesaan, kebanyakan latar sosial
murid adalah petani: jika sekolah ada di daerah perkotaan, latar sosial murid
adalah pengusaha, pedagang, politisi, taupun kelas menengah ke atas walaupun
ada juga yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Di sinilah pentingnya
sosiologi pendidikan, yaitu untuk mengetahui pluralitas keberadaan murid.
Sekolah bagi
murid-murid dapat dipandang sebagai system persahabatan dan hubungan-hubungan sosial.
Bedanya dengan orang dewasa ialah bahwa struktur sosial bersifat tak formal.
Struktur sosial pada orang dewasa lebih formal karena kedudukan mereka yang
berkaitan dengan jabatannya telah ditentukan dan dapat diumuskan serta
merupakan suatu bagian dari system sosial dalam masyarakat.
Pada umumnya,
orang dalam masyarakat mengetahui kedudukan seorang guru di suatu sekolah. Tak
demikian halnya dengan kedudukan murid, misalnya sebgai anggota regu basket
atau ketua kelompok belajar. Kedudukan murid hanya dikenal dalam lingkungan
sekolah vsaja. Ada juga kedudukan murid yang lebih formal, seperti ketua OSIS
yang telah mempunyai bentik resmi menurut ketentuan pemerintah. Akan tetapi,
kebanyakan kedudukan murid bersifat tak formal dan hanya diketahui dalam kalangan
sekolah itu saja. Ada dua metode utama untuk mempelajari struktur informal
pelajar. Pertama dan yang paling banyak digunakan aialah teknik sosiometri.
Dalam garis besarnya, kepada murid ditanyakan siapkah di antara murid-murid,
satu orang atau lebih, yang paling disukainya, yang tidak dianggapnya sebagai
teman. Dari hasil pertanyaan itu, diajukan kepada setiap murid dalam kelas atau
kelompok murid dapat disusun suatu diagram yang disebut sosiogram yang secra
visual jelas menunjukkan kedudukan seseorang dalam hubungan sosial dengan
murid-murid lain. Sosiogram itu dapat segera memperlihatkan pengelompokkan atau
klik di kalangan murid-murid.
Metode kedua
ialah metode partisipasi-observasi, yakni sambil tirut berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok selama beberapa waktu dengan mengadakan observasi tentang
kelompok. Melalui partisipasi itu, pengamat menganalisis kedudukan setiap murid
dalam hubungannyadengan murid-murid lainnya di dalam kelompok itu. Seorang
pengamat yang turut serta dalam kegiatan murid yang terlatih sebagai pengamat
akan dapatmenemukan dan merumuskan berbagai hubungan yang terdapat di antara
anggota-anggota kelompok itu.
Menurut Nasution (dalam
Rifa’i, 2011:133) di suatu sekolah, dapat temukan macam-macam kedudukan murid
dan hubungan antar-murid, antara lain sebagai berikut.
a.
Hubungan dan kedudukan berdasarkan usia dan tingkat kelas.
b.
Struktur sosial berhubung dengan kurikulum.
c.
Klik atau kelompok persahabatan di sekolah.
d.
Hubungan antara struktur masyarakat dan pengelompokkan di
sekolah.
e.
Kelompok elite.
f.
Kelompok siswa yang mempunyai organisasi formal.
Peran dan
kedudukan murid adalah sebagai pelajar, orang yang membina ilmu dalam sekolah
tersebut. Oleh karena itu, keududukan mereka berada di bawah kepala sekolah dan
guru. Akan tetapi, terlepas dari latar sosial-ekonomi orang tua mereka,
kedudukan murid di sekolah dalam pola hubungannya dengan guru dan kepala
sekolah selalu menempatkan kedua kelas tersebut sebagai yang di atas.
Pengertian dari yang di atas adalah dalam konteks keilmuan, mereka tunduk dan
patuh atas apa yang diberikan oleh guru, baik itu pelajaran maupun
nasihat-nasihatnya, juga dari kepala sekolah. Kalaupun ada yang dipertanyakan,
yang tidak sesuai engan pengetahuan yang diperoleh dari bacaan dan internet,
maupun pengetahuan lewat pergaulan, mereka biasanya menginformasikan lebih
dahulu dan tidak langsung menyangkal, itu dalam kategori murid yang nakal dan
Bengal.
Oleh karena itu, pola
hubungan sosial mereka terhadap guru, kepala sekolah, staf administrasi,
petugas keamanan, maupun petugas kebersihan selalu dalam konteks murid
menghormati mereka, murid menjadikan mereka sebagai orang tua di sekolah.
Ketika terjadi pola hubungan yang menyimpang, misalnya berani menyangkal atau
berani membntah, itu merupakan proses kelanjutan dari pola hubungan sosial
kedua belah pihak. Terkadang guru, kepala sekolah, staf administrasi, petugas
keamanan, atau petugas kebersihan tidak menempatkan posisinya sebagai orang
tua, atau melainkan pekerjaannya. Hal itu menjadikan murid bersikap berbeda dan
berani bertindak lebih jauh. Terkadang dalam diri murid terdapat watak yang
terlalu berani.
Kebanakan
sekolah biasanya terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis. Ini
kemudian menjadikan para pemangku kebijakan pendidikan di sekolah kurang
memberikan perhatian dan memupuk hubungan sosial di kalangan murid-murid.
Program pendidikan yang diplikasikan tidak bisa mengabaikan relasi antar-murid
karena mereka memiliki struktur sosialnya masing-masing. Ada tidaknya golongan
minoritas di kalangan mereka mempengaruhi hubungan antar kelompok itu. Apalagi,
Negara kita mempunyai penduduk yang multi-rasial, menganut agama yang
berbeda-beda, dan mengikuti adat kebiasaan yang berlainan.
Murid-murid di
sekolah kita juga sering menunjukkan perbedaan asal kebangsaan, kesukuan,
agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan itu, mungkin
timbul golongan minoritas di kalangan murid-murid, yang tersembunyi atau yang
nyata.
Perbedaan kelas-kelas sosial
sangat kentara pada zaman colonial Belanda. Penjajah mendirikan sekolah-sekolah
tersendiri untuk anak-anak Belanda, anak-anak Cina dan Indonesia. Hal yang
terakhir ini sekolah bagi golongan rendah dan anak desa. Bagi golongan
anak-anak pegawai an ningrat, terbuka kesempatan bersekolah sekolah Belanda
atau berbahasa Belanda.
Sementara itu di
Amerika Serikat tidak sedikit terjadi diskriminasi anak-anak kulit putih dan
negro dengan mengadakan pemisahan atau segregasi dalam pendidikan kedua
golongan itu walaupun diakui kesempatan hak setiap warga Negara. Sebagaimana
diketahui bersama, dalam perkembangannya, diskriminasi ini lambat laun
berkurang. Guru-guru hendaknya memperhatikan struktur golongan-golongan di
kalangan murid-muridnya. Apakah anak-anak yang berasal dari daerah tertentu,
yang berasal dari keturunan asing, atau yang berlainan agama diperlakukan
dengan cara tak wajar, diancam, diperas oleh teman-temannya, atau disingkirkan
dari kegiatan-kegiatan tertentu. Dengan perlakuan yang demikian, anak-anak yang
didiskriminasikan itu akan merasa dirinya asing dan tak diterima sebagai
anggota penuh darimasyarakat sekolahnya. Sikap ini akan mempengaruhi sepanjang
hidupnya. Tiap sekolah mempunyai hubungan pola tertentu antar-guru,
antar-murid, antara guru dan murid, yaitu suatu struktur sosial yang
memengaruhi sikap dan kelakuan murid. Masyarakat sekolah memengaruhi anak dalam
pergaulannya dengan anggota-anggota lain dalam masyarakat itu. Nasution (dalam Rifa’i, 2011:135).
Lebih jauh,
Nasution menjelaskan jika tiap sekolah perlu memerhatikan hubungan antar-murid
dan antar-kelompok, terlebih-lebih jika terdapat di dalamnya apa yang dianggap
golongan minoritas. Berbagai usaha dapat dijalankan untuk memperbaiki hubungan
antar kelompok walaupun kekuasaan
sekolah serig sangat terbatas. Sikap yang berprasangka yang telah tertanam
dalam hati masyarakat sangat menghalangi usaha sekolah. Namun, ada yang dapat
diusahakan oleh sekolah.
Misalnya, pihak
sekolah berusaha mengajarkan dan mendidika cara bersikap bahwasannya seua
manusia itu, perbedaannya karena warna kulit, agam, bahasa, budayannya, atau
bangsanya, tidak boleh dijadikan landasan untuk bersikap membenci,
berprasangaka buruk, melakukan kekerasan, atau menfitnah karena kedudukan
manusia di dunia semata-mata diukur oleh kerja kerasnya, karyanya,
pengabdiannya, amalnya, perbuatan baiknya, ketaqwaan yang baik di hadapan
Tuhan, dn toleransinya atas sesame manusia dan makhluk semesta. Ini dilakukan
dengan jalanyang pelan, sederhana, tapi mantap, dengan sedikit teori banyak
praktek, disesuaikan dengan kondisi kelas dan masyarakatnya, dan terpenting
memahamkan dengan bahasa dan pemahaman mereka.
Kebanyakan usaha
dalam perbaikan hubungan antar-kelompok mengandung unsur penggugahan nilai dan
sikap individu karena sekolah tidak mampu mengubah keadaan sosial dan prasangka
yang telah ada dalam masyarakat. Mungkin cara yang paling sering dilakukan
ialah memberikan informasi. Berbagai macam informasi dapat diberikan, misalnya tentang
hakikat perbedaan rasial dan kultural dengan menekankan bahwa
perbedaan-perbedaan di kalangan manusia bukalah disebabkan oleh pembawaan
biologis, melainkan karena dipelajari dari lingkungan kebudayaan masing-masing.
Diusahakan agar anak-anak lebih memerhatikan kesamaan antar-manusia yang
berbeda asal dan kebudayaannya sehingga dapat melihat orang lain sebagai sesama
manusia yang dapat dijadikan teman pergaulan. Di samping itu, anak dapat pula
melihat adanya perbedaan di antara orang-orang dalam kelompoknya tak ubahnya
dengan orang-orang di luar kelompoknya. Sikap terhadap perbedaan kelompok dapat
mengalami perubahan dalam hidup seseorang di kemudian hari berkat berbagai
situasi yang dialaminya. Informasi mengennai kesamaan dan perbedaan manusia
juga diperoleh murid dalam pelajaran biologi dan ilmu-ilmu sosial.
Teknik lain yang
banyak digunakan ialah memeberikan informasi tentang sumbangan minoritas kepada
masyarakat. Orang Cina, India, Arab, Yahudi, dan bangsa-bangsa lain banyak
memberikan sumbangan yang berharga kepada umat manusia dan keturunan mereka
yang tersebar di berbagai pelosok di dunia ini patut dhargai atas jasa-jasa
itu. Demikian pula tiap suku bangsa di tanah air kita ini turut berjuang untuk
merebut kemerdekaan kita dank arena itu warga negar berhak mendapat perlakuan
yang terhormat.
Agar dapat
dijadikan pegangan untuk memandang semua manusia sama karena semua sama di
hadapan Tuhan. Di dalam UUD 1945, juga diakui kesamaan hak setiap warga Negara
tanpa memandang agama, kesukuan, kebangsaan, atau warna kulit. Namun, orang
yang mempunyai kepribadian yang berprasangka sering bermuka dua—pada satu pihak
berpegang pada norma-norma agama dan undang-undang, di lain pihak tetap
mempertahankan prasangkanya terhadap orang tertentu. Orang seperti itu pasti
akan mengalami konflik dalam batinnya.
Guru dapat pula
mengidentifikasi pemimpin-pemimpin di kalangan murid-murid. Bila mereka ini
mempunyai sikap yang toleran, atau diusahakan agar mempunyai sikapyang toleran,
mereka dapat memengaruhi sikap-sikap murid-muridlain kea rah toleransi yang
lebih besar. Guru dapat memobilisasi tenaga-tenaga ini untuk memupuk sikap yang
sehat di kalangan murid-murid.
Teknik lain untuk mengubah
sikap ialah membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan hubungan
atau pergaulan di antara murid-murid dari berbagai golongan. Jika mereka dapat
saling berkunjung dan menghadiri kegiatan atau upacara dalam keluarga
masing-masing, diharapkan lahirnya saling pengertian yang lebih mendalam dan
toleransi yang lebih besar.
Metode lain yang makin banyak digunakan ialah sosiodrama atau teknik
bermain peranan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat dimainkan dalam
kelas dalam bentuk sosiodrama dengan menyuruh golongan mayoritas memainkan
peranan golongan minoritntas. Tujuannya ialah agar lebih dipahami perasaan
golongnan minoritas dan dapat mengid ifikasikan diri dengan keadaan mereka. Nasution
(dalam Rifa’i, 2011:138).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar