Kekerasan didalam institusi pendidikan
Kekerasan
didalam institusi pendidikan dapat terjadi, misalnya ketika komunitas
pendidikan di dalam sekolah dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan
mulus karena setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masin-masing,
memiliki latar belakang agama, budaya masing-masing, dan tidak selalu interaksi
yang dilakukan setiap hari selalu menguntungkan dan menyenangkan. Pada saatnya
terjadi perubahan yang menyebabkan terjadi konflik tak jarang dan sering
terjadi kekerasan, baik itu secara personal antar personal, ataupun tawuran,
baik secara kelompok per kelompok atau dengan kelompok lain. Kekeran itu bisa
terjadi antar guru dan guru lain, atar guru dan murid, maupun murid satu dan
murid lain.
Hasbalah
Mohamad Saad yang pernah meneliti fenomena tawuran pelajar di DKI Jakarta
memberikan narasi tentang fenomena tersebut. Frekuensi tawuran atau perkelahian
pelajar dari tahun ke tahun terus meningkat. Perkelahian pelajar, khususnya di
Jakarta, telah banyak melibatkan pelaku yang menimbulkan korban meninggal yang
tidak sedikit. Hal tersebut telah menimbulkan kecemasan yang makin mendalam
dari berbagai pihak yang berkepentingan, Depdiknas, pemda DKI, sekolah,
orangtua siswa, dan masyarakat pada umumnya. Kecemasan dan keprihatinan
tersebut masih dalam batas sikap dan perasaan karena sampai saat ini belum ada jalan
keluar atau solusi yang efektif cara mengatasi perkelahian dan tindak kekerasan
yng semakin mengarah pada tindakan kriminal.
Jalan
keluar yang ditawarkan oleh pihak keamanan, yaitu untuk mencoba membangun
sebuah lembaga sebagai wahana pendidikan bagi siswa yang tertangkap ketika
terlibat prilaku kekerasan. Lembaga ini lebih bersikap militeristik yang
menekankan pada latihan fisik dan memakai pendekatan klasikal, dengan metode
ceramah tentang ketika berprilaku baik. Isi atau ceramah yang disampaikan diharapkan
mampu mengembalikan anak-anak yang pernah terlibat tindak kekerasan untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan yang sama. Pendekatan tersebut sampai saat ini belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, di kalangan profsional,
baik ahli psikologi maupun ahli pendidikan yang secara langsung dapat
memberikan diagnosis, tetapi psikologis dan sosiologis masih mencari solusi
terbaik.
Masalah
perkelahian pelajar yang didorong oleh kecenderungan remaja untuk berprilaku
agresif masih relevan untuk dicermati secara lebih komprehensif. Apabila
dijajaki secara komprehensif, perilaku manusia banyak didorong oleh banyak
factor (saad, 2003:3-4)
Teori
psikologi yang bermazhab behaviorisme menempatkan perilaku sebagai salah satu
bentuk respons terhadap rangsang-rangsang yang ada. Rangsang atau dalam istilah
lin stimulus dapat dating dari luar individu yang bersifat eksternal.
Berdasarkan kondisi psikis masing-masing, setiap individu akan memberikan
respons terhadap rangsang.
Rangsangan
internal berupa kesan yang disimpan di bawah sadar dari struktur kepribadian
individu, yang dalam kondisi tertentu dapat mencul kembali ke dalam kesadaran
apabila kontril fisik psikis menjadi lemah. Hal ini sering terjadi pada diri
seseorang yang relatif memiliki kepribadian yang masih rentan terhadap
rangsangan-rangsangan negatif. Namun demikian, ada pendapat lain bahwa perilaku
social individu yang terbentuk melalui relasi interpersonal merupakan disposisi
yang relatif stabil adanya dalam membangun respons terhadap orang lain yang
berbeda-beda.
Sementara
itu di dalam bukunya, Lee Persons menjelaskan hal lain berkaitan dengan
kekerasan di sekolah yang dihubungkan dengan kekerasan di sekolah yang
dihubungkan dengan istilah intimidasi. Kita tahu bahwa semua sekolah memiliki
masalah dengan perilku intimidasi dari siswa. Setiap sekolah diwabahi
penyakit-penyakit penganiayaan fisik, intimidasi dalam suatu hubungan ,
intimidasi via kompoter, ejekan-ejekan yang kejam, gosip yang tidak benar ,
pengucilan, sentuhan seksual yang tidak dikehendaki, serta ancaman dan paksaan.
Satu-satunya perbedaan diantara sekolah-sekolah adalah seberapa meluas dan
menindasnya perilaku-perilaku ini serta bagaimana sekolah memerangi dan
mengatasinya. Kita tahu bahwa perilaku intimidasi terjadi paling sering di
halaman sekolah , dalam perjalanan, dari dan ke sekolah, di koridor-koridor
sekolah, di kelas dan kantin, serta di kamar kecil. Meskipun kemungkinan besar
pelaku-pelaku intimidasi beraksi di tempat ini, tidak ada satu pun wilayah atau
di sekitar sekolah yang aman. Di manapun para siswa berkumpul, diawasi atau
tidak, untuk tujuan apapun di sekolah, manapun
perilaku intimidasi dapat terjadi.
Data
beberapa referensi tentang intimidasi, kita ketahui ada pola-pola baku, seperti
sasaran intimidasi, peran dari penonton dan saksi terjadinya intimidasi,
dinamika yang kompleks dan mencemaskan, yang menghubungkan antara pelaku,
sasaran, dan penonton. Para peneliti sering menemukan korelasi antara
intimidasi, bunuh diri, dan depresi.
Semua
sekolah melakukan tindakan intimidasi dan semua sekolah memiliki budaya
perilaku intimidasi. Dalam budaya seperti ini, siswa dan orang dewasa sebagai
pelaku intimidasi bercampur dalam pola-pola yang kompleks dan menggelisahkan.
Contoh-contoh berikut menggambarkan rumitnya hubungan-hubungan ini.
§ Beberapa
siswa mengintimidasi siswa lain, beberapa siswa pelaku intimidasi ini adalah
korban intimidasi dari siswa-siswa lain, beberapa siswa pelaku ini
mengintimidasi guru.
§ Beberapa
guru mengintimidasi siswa, beberapa guru pelaku intimidasi mengintimidasi guru
lain, beberapa guru pelaku intimidasi mengintimidasi orangtua.
§ Beberapa
karyawan sekolah mengintimidasi guru, siswa, dan orangtua.
§ Beberapa
kepala sekolah mengintimidasi guru, karyawan, siswa, dan orangtua.
§ Beberapa
orangtua mengintimidasi guru, karyawan sekolah, kepala sekolah, dan anak-anak
mereka (Persons, 2009: 2-3, 7)
Ironisnya lagi, kekerasan dan tawuran
antar-peserta didik bukan hanya terjadi di kalangan pelajar, melainkan juga
para mahasiswa, yang sebenarnya dinilai dari umurnya sudah melampui fase
remaja, fase yang seharusnya sudah stabil pergolakannya batin dan kejiwaannya.
Ngainum Naim dalam salah satu tulisannya menyatakan ikut prihatin atas fenomena
tawuran yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Hal tersebut disebabkan mahasiswa
yang dalam sejarah perjalanan Indonesia menaikan banyak peranan menentukan
dalam sejarah, kini banyak yang justru melakukan tindakan yang jauh dari
karakteristik intlektual. Tawuran antar-kampus menjadi fenomena yang semakin
mewabah di mana-mana. Kampus adalah lingkungan pendidikan yang berlandaskan
nilai-nilai intlektualitas. Segala bentuk aktivitas yang berlangsung dalam
kampus seyogianya dilakukan dalam bingkai intlektualitas. Sebab, dimensi ini
merupakan karakteristik sekaligus keistimewaan kampus sebagai tempat para
mahasiswa menimba ilmu.
Tawuran antar-mahasiswa, misalnya
hampir setiap saat terjadi. Konflik dalam pemilihan rector atau perbedaan
aspirasi kerap berlanjut dalam bentrokan fisik. Kasus-kasus awuran mahasiswa
menjadi wajah lain kehidupan kampus di Indonesia.
Memang ironis ternyata lembaga
pendidikan nasional kita masih belum bisa meminimalisasi terjadinya kekerasan
di sekolah. Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak
kekerasan di lingkup sekolah.
Pada beberapa penderitaan mengenai
kekerasan di sekolah terjadi pada saat anak sekolah memulai perkenalnya dengan
situasi dan lingkungan sekolah tersebut, biasanya terjadi lewat Masa Orientasi
Siswa (MOS). Disini para senior sekolah tersebut biasanya melakukan kekerasan
para juniornya.
Beberapa elemen masyarakat mengusulkan
agar MOS ditiadakan karena jumlah korban semakin banyak dan korban bukan hanya
rusak fisik dan mentalnya dan parahnya beberapa kasus ada yang meninggal dunia.
Sementara menurut Marcoes, setidaknya
ada beberapa hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunakan analisis
gander. Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala ada ketimpangan relasi.
Dengan begitu, kekerasan bisa dialami siapa saja dalam hubungan-hubungan yang
timpang. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas, antara orang tua/dewasa dan anak-anak, antara guru dan
murid, lelaki dan perempuan, serta perempuan dewasa/kakak kelas dan perempuan
lebih muda/adik kelas.
Kedua, kekerasan selalu berangkat dari
adanya stereotype tentang korban. Misalnya, dalam relasi warga kulit putih dan
kilit hitam, kekerasan berangkat dari Surabaya anggapan bahwa orang-orang kulit
hitam adalah pelaku criminal, penjahat, pengedar narkoba, dan pembuat keonaran.
Adanya anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya legitimasi melakukan
tindakan kekerasan.
Apa yang kemudian menjadi persoalan
adalah tindakan untuk menangani hal tersebut justru mendaur ulang kekerasan itu
lebih jauh.
Pertama,
khasus tersebut tidak ditangani dengan segera oleh pihak yang berwenang,
terutama pihak sekolah sehingga bisa meminimalisasi, mendamaika dan menurunkan
tensi kekerasan tersebut. Kedua, akibat pemberitaan media sudah meluas, yang
terjadi justru ketika ada pihak yang merasa diintimidasi dan disangka sebagai
pelaku merasa tidak nyaman lagi disekolah. Pihak sekolah berwenang terutama
kepala sekolah tidak mengambil langkah strategis dan bijak untuk melikalisasi
dan meminimalisasinya.
Berdasarkan data yang diperoleh ,
menurut Hadi angka kekerasan yang dilakukan oleh guru, terlihat meningkat
drastic. Sebab, pada tahun 2007, persentase kekerasan dari tenaga pendidik
tersebut hanya mencapai 11,3 persen. Namun, dalam pantauan selama dua tahun
terakhir tersebut, korban terbanyak selalu berasal dari siswa SD dan SMP.
Sementara itu, pada kesempatan lain
Hadi Supeno menyebutkan bahwasanya kekerasan terhadap anak yang terjadi di
sekolah menempati peringkat kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga, sebagi
tindak kekerasan yang sering dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI). Sepanjang 2008-2009, tingkat kekerasan di sekolah mencapai 25 persen
dari seluruh laporan tindak kekerasan.
Masih banyaknya tindak kekerasan
terhadap anak di sekolah, menurut Hadi, terjadi karena guru kurang kreatif
dalam mencari metode mendisiplinkan murid sehingga cenderung mengambil cara
kekerasan.
Pelaku tindak kekerasan tidak hanya di
dalam institusi pendidikan, sekolah, maupun kampus. Kekerasan yang terjadi di
Negara kita sudah sering kita lihat dalam pemberitaan di media masa. Manusia
Indonesia saat ini terlihat gampang marah dan gampang meluapkan emosinya, atau
mengatasi persoalan hidupnya yang menghimpit dengan jalan kekerasan. Persoalan
spele bisa jadi persoalan besar dan mengakibatkan tawuran banyak orang.
Banyak
faktor yang memunculkan kekerasan. Bisa jadi kekerasan tersebut muncul karena
persoalan dalam keluarga begitu besar, apakah itu berkaitan dengan
perselingkuhan, bahkan perceraian. Bisa jadi persoalan tersebut karena
kemiskinan yang akut dan terjadi diskriminasi social ekonomi dalam sebuah
kondisi social. Bisa jadi persoalan tersebut karena budaya kekerasan telah
menjadi tradisi dalam sekolah atau masyarakatnya dalam mengatasi
persoalan-persoalan internal dirinya, persoalan keluarga, persoalan
kemasyarakatan, bahkan persoalan kebangsaan.
Oleh karenanya, penanganan persoalan
tersebut tidak boleh dilakukan secara sepihak dan satu kelompok. Penanganan
tersebut harus melibatkan semua pihak, mulai dari pola pendidikan keluarga,
pendidikan masyarakat, pendidikan politik kebangsaan oleh pemerintah berikut
aparaturnya, dan pendidikan di sekolah, yang kesemuanya mengajarkan mengatasi
persoalan dengan jalan yang baik, sederhana, bijaksana, dialog, dan menolak
kekerasan, baik kekerasan pada orang lain, kelompok sendiri, maupun diri
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar