Blogger Widgets
Minggu, 05 Januari 2014

Kekerasan didalam institusi pendidikan

  Kekerasan didalam institusi pendidikan

Kekerasan didalam institusi pendidikan dapat terjadi, misalnya ketika komunitas pendidikan di dalam sekolah dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masin-masing, memiliki latar belakang agama, budaya masing-masing, dan tidak selalu interaksi yang dilakukan setiap hari selalu menguntungkan dan menyenangkan. Pada saatnya terjadi perubahan yang menyebabkan terjadi konflik tak jarang dan sering terjadi kekerasan, baik itu secara personal antar personal, ataupun tawuran, baik secara kelompok per kelompok atau dengan kelompok lain. Kekeran itu bisa terjadi antar guru dan guru lain, atar guru dan murid, maupun murid satu dan murid lain.
Hasbalah Mohamad Saad yang pernah meneliti fenomena tawuran pelajar di DKI Jakarta memberikan narasi tentang fenomena tersebut. Frekuensi tawuran atau perkelahian pelajar dari tahun ke tahun terus meningkat. Perkelahian pelajar, khususnya di Jakarta, telah banyak melibatkan pelaku yang menimbulkan korban meninggal yang tidak sedikit. Hal tersebut telah menimbulkan kecemasan yang makin mendalam dari berbagai pihak yang berkepentingan, Depdiknas, pemda DKI, sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat pada umumnya. Kecemasan dan keprihatinan tersebut masih dalam batas sikap dan perasaan karena sampai saat ini belum ada jalan keluar atau solusi yang efektif cara mengatasi perkelahian dan tindak kekerasan yng semakin mengarah pada tindakan kriminal.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh pihak keamanan, yaitu untuk mencoba membangun sebuah lembaga sebagai wahana pendidikan bagi siswa yang tertangkap ketika terlibat prilaku kekerasan. Lembaga ini lebih bersikap militeristik yang menekankan pada latihan fisik dan memakai pendekatan klasikal, dengan metode ceramah tentang ketika berprilaku baik. Isi atau ceramah yang disampaikan diharapkan mampu mengembalikan anak-anak yang pernah terlibat tindak kekerasan untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama. Pendekatan tersebut sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, di kalangan profsional, baik ahli psikologi maupun ahli pendidikan yang secara langsung dapat memberikan diagnosis, tetapi psikologis dan sosiologis masih mencari solusi terbaik.
Masalah perkelahian pelajar yang didorong oleh kecenderungan remaja untuk berprilaku agresif masih relevan untuk dicermati secara lebih komprehensif. Apabila dijajaki secara komprehensif, perilaku manusia banyak didorong oleh banyak factor (saad, 2003:3-4)
Teori psikologi yang bermazhab behaviorisme menempatkan perilaku sebagai salah satu bentuk respons terhadap rangsang-rangsang yang ada. Rangsang atau dalam istilah lin stimulus dapat dating dari luar individu yang bersifat eksternal. Berdasarkan kondisi psikis masing-masing, setiap individu akan memberikan respons terhadap rangsang.
Rangsangan internal berupa kesan yang disimpan di bawah sadar dari struktur kepribadian individu, yang dalam kondisi tertentu dapat mencul kembali ke dalam kesadaran apabila kontril fisik psikis menjadi lemah. Hal ini sering terjadi pada diri seseorang yang relatif memiliki kepribadian yang masih rentan terhadap rangsangan-rangsangan negatif. Namun demikian, ada pendapat lain bahwa perilaku social individu yang terbentuk melalui relasi interpersonal merupakan disposisi yang relatif stabil adanya dalam membangun respons terhadap orang lain yang berbeda-beda.
Sementara itu di dalam bukunya, Lee Persons menjelaskan hal lain berkaitan dengan kekerasan di sekolah yang dihubungkan dengan kekerasan di sekolah yang dihubungkan dengan istilah intimidasi. Kita tahu bahwa semua sekolah memiliki masalah dengan perilku intimidasi dari siswa. Setiap sekolah diwabahi penyakit-penyakit penganiayaan fisik, intimidasi dalam suatu hubungan , intimidasi via kompoter, ejekan-ejekan yang kejam, gosip yang tidak benar , pengucilan, sentuhan seksual yang tidak dikehendaki, serta ancaman dan paksaan. Satu-satunya perbedaan diantara sekolah-sekolah adalah seberapa meluas dan menindasnya perilaku-perilaku ini serta bagaimana sekolah memerangi dan mengatasinya. Kita tahu bahwa perilaku intimidasi terjadi paling sering di halaman sekolah , dalam perjalanan, dari dan ke sekolah, di koridor-koridor sekolah, di kelas dan kantin, serta di kamar kecil. Meskipun kemungkinan besar pelaku-pelaku intimidasi beraksi di tempat ini, tidak ada satu pun wilayah atau di sekitar sekolah yang aman. Di manapun para siswa berkumpul, diawasi atau tidak, untuk tujuan apapun di sekolah, manapun  perilaku intimidasi dapat terjadi.
Data beberapa referensi tentang intimidasi, kita ketahui ada pola-pola baku, seperti sasaran intimidasi, peran dari penonton dan saksi terjadinya intimidasi, dinamika yang kompleks dan mencemaskan, yang menghubungkan antara pelaku, sasaran, dan penonton. Para peneliti sering menemukan korelasi antara intimidasi, bunuh diri, dan depresi.
Semua sekolah melakukan tindakan intimidasi dan semua sekolah memiliki budaya perilaku intimidasi. Dalam budaya seperti ini, siswa dan orang dewasa sebagai pelaku intimidasi bercampur dalam pola-pola yang kompleks dan menggelisahkan. Contoh-contoh berikut menggambarkan rumitnya hubungan-hubungan ini.
§  Beberapa siswa mengintimidasi siswa lain, beberapa siswa pelaku intimidasi ini adalah korban intimidasi dari siswa-siswa lain, beberapa siswa pelaku ini mengintimidasi guru.
§  Beberapa guru mengintimidasi siswa, beberapa guru pelaku intimidasi mengintimidasi guru lain, beberapa guru pelaku intimidasi mengintimidasi orangtua.
§  Beberapa karyawan sekolah mengintimidasi guru, siswa, dan orangtua.
§  Beberapa kepala sekolah mengintimidasi guru, karyawan, siswa, dan orangtua.
§  Beberapa orangtua mengintimidasi guru, karyawan sekolah, kepala sekolah, dan anak-anak mereka (Persons, 2009: 2-3, 7)
Ironisnya lagi, kekerasan dan tawuran antar-peserta didik bukan hanya terjadi di kalangan pelajar, melainkan juga para mahasiswa, yang sebenarnya dinilai dari umurnya sudah melampui fase remaja, fase yang seharusnya sudah stabil pergolakannya batin dan kejiwaannya. Ngainum Naim dalam salah satu tulisannya menyatakan ikut prihatin atas fenomena tawuran yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Hal tersebut disebabkan mahasiswa yang dalam sejarah perjalanan Indonesia menaikan banyak peranan menentukan dalam sejarah, kini banyak yang justru melakukan tindakan yang jauh dari karakteristik intlektual. Tawuran antar-kampus menjadi fenomena yang semakin mewabah di mana-mana. Kampus adalah lingkungan pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai intlektualitas. Segala bentuk aktivitas yang berlangsung dalam kampus seyogianya dilakukan dalam bingkai intlektualitas. Sebab, dimensi ini merupakan karakteristik sekaligus keistimewaan kampus sebagai tempat para mahasiswa menimba ilmu.
Tawuran antar-mahasiswa, misalnya hampir setiap saat terjadi. Konflik dalam pemilihan rector atau perbedaan aspirasi kerap berlanjut dalam bentrokan fisik. Kasus-kasus awuran mahasiswa menjadi wajah lain kehidupan kampus di Indonesia.
Memang ironis ternyata lembaga pendidikan nasional kita masih belum bisa meminimalisasi terjadinya kekerasan di sekolah. Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak kekerasan di lingkup sekolah.
Pada beberapa penderitaan mengenai kekerasan di sekolah terjadi pada saat anak sekolah memulai perkenalnya dengan situasi dan lingkungan sekolah tersebut, biasanya terjadi lewat Masa Orientasi Siswa (MOS). Disini para senior sekolah tersebut biasanya melakukan kekerasan para juniornya.
Beberapa elemen masyarakat mengusulkan agar MOS ditiadakan karena jumlah korban semakin banyak dan korban bukan hanya rusak fisik dan mentalnya dan parahnya beberapa kasus ada yang meninggal dunia.
Sementara menurut Marcoes, setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunakan analisis gander. Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala ada ketimpangan relasi. Dengan begitu, kekerasan bisa dialami siapa saja dalam hubungan-hubungan yang timpang. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, antara orang tua/dewasa dan anak-anak, antara guru dan murid, lelaki dan perempuan, serta perempuan dewasa/kakak kelas dan perempuan lebih muda/adik kelas.
Kedua, kekerasan selalu berangkat dari adanya stereotype tentang korban. Misalnya, dalam relasi warga kulit putih dan kilit hitam, kekerasan berangkat dari Surabaya anggapan bahwa orang-orang kulit hitam adalah pelaku criminal, penjahat, pengedar narkoba, dan pembuat keonaran. Adanya anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya legitimasi melakukan tindakan kekerasan.
Apa yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan untuk menangani hal tersebut justru mendaur ulang kekerasan itu lebih jauh.
Pertama, khasus tersebut tidak ditangani dengan segera oleh pihak yang berwenang, terutama pihak sekolah sehingga bisa meminimalisasi, mendamaika dan menurunkan tensi kekerasan tersebut. Kedua, akibat pemberitaan media sudah meluas, yang terjadi justru ketika ada pihak yang merasa diintimidasi dan disangka sebagai pelaku merasa tidak nyaman lagi disekolah. Pihak sekolah berwenang terutama kepala sekolah tidak mengambil langkah strategis dan bijak untuk melikalisasi dan meminimalisasinya.
Berdasarkan data yang diperoleh , menurut Hadi angka kekerasan yang dilakukan oleh guru, terlihat meningkat drastic. Sebab, pada tahun 2007, persentase kekerasan dari tenaga pendidik tersebut hanya mencapai 11,3 persen. Namun, dalam pantauan selama dua tahun terakhir tersebut, korban terbanyak selalu berasal dari siswa SD dan SMP.
Sementara itu, pada kesempatan lain Hadi Supeno menyebutkan bahwasanya kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah menempati peringkat kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga, sebagi tindak kekerasan yang sering dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sepanjang 2008-2009, tingkat kekerasan di sekolah mencapai 25 persen dari seluruh laporan tindak kekerasan.
Masih banyaknya tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, menurut Hadi, terjadi karena guru kurang kreatif dalam mencari metode mendisiplinkan murid sehingga cenderung mengambil cara kekerasan.
Pelaku tindak kekerasan tidak hanya di dalam institusi pendidikan, sekolah, maupun kampus. Kekerasan yang terjadi di Negara kita sudah sering kita lihat dalam pemberitaan di media masa. Manusia Indonesia saat ini terlihat gampang marah dan gampang meluapkan emosinya, atau mengatasi persoalan hidupnya yang menghimpit dengan jalan kekerasan. Persoalan spele bisa jadi persoalan besar dan mengakibatkan tawuran banyak orang.
Banyak faktor yang memunculkan kekerasan. Bisa jadi kekerasan tersebut muncul karena persoalan dalam keluarga begitu besar, apakah itu berkaitan dengan perselingkuhan, bahkan perceraian. Bisa jadi persoalan tersebut karena kemiskinan yang akut dan terjadi diskriminasi social ekonomi dalam sebuah kondisi social. Bisa jadi persoalan tersebut karena budaya kekerasan telah menjadi tradisi dalam sekolah atau masyarakatnya dalam mengatasi persoalan-persoalan internal dirinya, persoalan keluarga, persoalan kemasyarakatan, bahkan persoalan kebangsaan.

Oleh karenanya, penanganan persoalan tersebut tidak boleh dilakukan secara sepihak dan satu kelompok. Penanganan tersebut harus melibatkan semua pihak, mulai dari pola pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, pendidikan politik kebangsaan oleh pemerintah berikut aparaturnya, dan pendidikan di sekolah, yang kesemuanya mengajarkan mengatasi persoalan dengan jalan yang baik, sederhana, bijaksana, dialog, dan menolak kekerasan, baik kekerasan pada orang lain, kelompok sendiri, maupun diri sendiri.
Title: Kekerasan didalam institusi pendidikan; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar