Blogger Widgets
Minggu, 05 Januari 2014

Guru Sebagai Model

    Guru Sebagai Model

Guru-guru tak semua sama, bahkan berbeda beda pribadinya. Mereka mungkin pula berasal dari lingkungan sosial yang berlainan. Alasan mereka memilih pekerjaan sebagai guru berbeda-beda, ada yang sungguh-sungguh sebagai panggilan untuk mengabdikan diri kepada pendidikan anak, ada pula yang mencari lapangan kerja yang menjamin hidupnya atau yang mencari kedudukan yang berkuasa atas anak-anak sebagai kompensasi atau rasa inferioritasyang ada pada dirinya.
Guru-guru yang berasal dari golongan rendah dan sebagai guru meras dirinya meningkat ke golongan menengah sambil mempelajari norma-norma golongan itu selama pendidikannya dan dalam jabatannnya. Namun ia masih sering memperlihatkan kelakuan yang berasal dari golongannya semula. Melalui interaksi yang banyak dengan golongan menengah dan atasan, berkat pendidikan dan pengalaman tiap guru dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan modern dalam masyarakat Gesellscahft untuk memperoleh pandangan yang luas.
Guru yang terikat pada pandangan golongan aslinya akan lebih picik pandangannya. Kepicikan atau keterbatasan pandangan guru diperkuat oleh tuntuttan masyarakat Germeinschaft  kelakuan guru. Selain itu guru-guru di desa atau kota kecil berasal dari daerah itu sendiri dan sejak kecil telah terdidik menurut norma-norma dari lingkungan itu. Di sekolah di kota terdapat variasi yang lebih besar tentang kesukuan dan daerah asal guru.
Ada kecenderungan kedudukan guru makin banyak ditempati oleh kaum wanita, khususnya di sekolah dasar dan juga sekolah menengah. Dapat kita katakana bahwa guru-guru menunjukkan heteregonitas, dan mereka semua diharapkan menjadi guru yang baik dimanapun mereka mengajar dan dapat menjadi model atau teladan bagi anak-didiknya.
Harapn orang tua tentang guru tidak selalu sepadan dengan pandangan serta ucapan mereka tentang guru. Dalam dunia yang kian materialitas ini guru tidak menduduki tempat yang tinggi dalam penilaian masyarakat.
Bila guru naik sepeda atau kendraan umum itu dianggap biasa sesuai dengan status social guru. Yang aneh ialah bila guru SD atau SMP naik mobil ke sekolah sebab dianggap melebihi kesanggupan guru pada umumnya.  Ada kalanya orang tua mengucapkan kata-kata yang merendahkan gengsi guru. Guru yang menjadi sorotan murid dan orang tua sering diberi nama julukan yang menurunkan derajat guru. Apakah orang tua menegur anak atau bahkan turut menggunakan nama julukan itu dapat meningkatkan atau menurunkan nilai guru dalam pandangan murid dan mempengaruhinya memilih atau menolak model dari kalangan guru-gurunya.
Dengan bertambahnya guru wanita dapat menimbulkan masalah model khususnya bagi anak pria jika seluruh staf guru terdiri atas wanita. Guru wanita sebagai model dapat menjadi masalah. Guru wanita yang sudah kawin yang menjadi guru karena didesak oleh motivasi financial atau untuk mengelakkan kerepotan rumah tangga sukar menjadi model yang serasi. Juga guru yang belum kawin dan berusia lanjut tidak akan dijadikan model oleh gadis-gadis yang menginginkan rumah tangga sendiri. Guru itu bahkan menjadi model yang negatif bagi anak-anak.bila kelakuan guru berbeda sekali dengan cita-cita murid maka ia akan mencari model yang lain di luar sekolah.
Peranan anak yang diharapkan
Sosialisasi murid di sekolah dipengaruhi oleh :
1.    Iklim social di sekolah
2.    Adanya model bagi murid
3.    Peranan murid seperti yang diharapkan
Peranan yang diharapkan dari murid dapat dilihat dari tiga segi yakni menurut (a) guru, (b) orang tua, (c) murid-murid lainnya.
1)      Apakah Yang Diharapkan Guru?
Guru-guru pada umumnya mengharapkan agar murid-murid mempelajarinya yang diajarkan dan ditugaskan. Tiap murid harus menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung serta bidang studi lainnya. Mereka harus rajin belajar agar memperoleh prestasi yang tinggi supaya naik kelas. Tinggal kelas adalah kegagalan yang mempengaruhi pribadi anak yakni menurunkan statusnya dalam pandangannya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Di sekolah sangat diutamakan prestasi akademis, walaupun juga dipentingkan aspek kepribadian anak lainnya sebagai manusia dan warga Negara.
Anak-anak yang mempunyai intelegensi rendah akan banyak mengalami kesukaran di sekolah. Mereka akan selalu ketinggalan namun harus mengikuti kurikulum yang sama serta memenuhi tuntutan prestasi akademis yang sama. Mereka ini akan kehilangan kepercayaan akan diri sendiri, mereka kurang dalam hubungan sosialnnya, menarik diri dari pergaulan social dan dapat mengalami gannguan atau tekanan mental.
Kedudukan anak t kurang berbakat intelektual lebih dipersukar lagi karena suasana persaingan sekolah, terutama untuk memasuki sekolah yang lebih lanjut.
Agar anak-anak belajar baik sekolah menjalankan dispilin yang ketat yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan untuk dipatuhi oleh setiap murid. Murid-murid harus dating ke sekolah pada waktunya, menghadiri pelajaran dengan setia, memberi perhatian kepada setiap pelajaran tanpa mengganggu pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang dapat memelihara disiplin dalam kelasnya. Karena pelajaran kebanyakan disampaikan secara verbal dengan banyak menggunakan metode ceramah, maka disiplin harus ketat. Pelanggaran disiplin harus ditindak oleh sebab tanpa disiplin pelajaran tidak dapat disampaikan dengan efektif. Hanya bila guru menggunakan metode kerja sama, pemecahan masalah atau belajar sendiri, guru dapat menjalankan disipin yang lebih bebas, yang sebenarnya lebih membantu perkembangan pribadi anak yang sehat.
Bagi guru pelanggaran disiplin kelas dan sekolah dianggap serius misalnya bercakap-cakap dalam kelas, mencontek, pergi ke luar kelas tanpa izin guru, menentang guru, berkelahi, atau rebut. Bahakan tidak berpakaian seragam baru-baru ini dihukum oleh seorang kepala sekolah dengan menggunduli kepala sejumlah murid dan menyuruh mereka pulang ke rumah.
Disiplin yang ketat, melarang anak-anak bicara atau kerja sama dalam pembelajaran sebenarnya menghalangi sosialisasi anak dan perkembangan pribadinya. Sosialisasi hanya dapat berlangsung dalam interaksi social dalam suasana bebas.
Apa yang dianggap oleh guru sebagai pelanggaran serius atau kelakuan yang tak layak sering berbeda dengan pendapat ahli psikologi. Misalnya cirri-ciri non-agresif seperti kurang bergaul, rasa cemas, suka menyendiri, muram, pendiam, curiga, gugup, kebergantungan yang dianggap tidak serius oleh guru karena tidak mengganggu disiplin dalam kelas, justru dipandang serius bagi perkembangan pribadi anak oleh ahli kesejahteraan rohani atau “mental hygiene”. Sebaliknya pelanggaran yang dianggap serius oleh guru seperti menulis kata-kata kotor, masturbasi, membolos, berdusta, mencontek, menentang, merusak, tidak dianggap begitu penting oleh ahli psikologi. Guru terutama mementingkan ketertiban kelas dan sekolah untuk mencapai prestasi akademis yang sebaik-baiknya. Sebaliknya hli mental hygiene atau ahli kesejahteraan rohani mengutamakan perkembangan pribadi anak agar menjadi individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan socialny dengan penuh kepercayaan akan dirinya.
Guru yang juga memperhatikan aspek kepribadian anak hendaknnya menerima pendirian para ahli mental hygiene dan menjadikannya sebagai pedoman untuk mencapai tujuan akademis. Ia akan lebih banyak memberikan tanggung jawab kepada anak-anak untuk memelihara disiplin dan bekerja tanpa mengganggu orang lain dan dengan demikian memupuk disiplin diri. Ia jua akan lebih memperhatikan anak-anak pendiam dan penakut dan mencoba memahami dan membantu mereka. Dengan demikian guru itu tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik.
2)      Apa Yang Diharapkan Orang Tua
Orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah agar menjadi “pandai” artinya menguasai apa yang diajarkan di sekolah. Dalam hal ini orang tua dan guru mempunyai harapan yang sama. Orang tua juga sangat mementingkan kemajuan anaknya di sekolah dan mengharapkan agar anaknya mematuhi perintah gurunya serta berkelakuan baik. Apa yang baik menurut pandangan masyarakat pada umumnya sama dengan pandangan guru, walaupun dalam hal tertentu mungkin terdapat perbedaan.
Orang tua mengharapkan pula agar anaknya mendapat rapor yang baik agar dapat melanjutkan pelajarannya ke sekolah yang baik di kemudian hari dan karena itu banyak orang tua yang tidak ragu-ragu memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya bahkan sering di atas kemampuannya untuk memungkinkan anaknya belajar di perguruan tinggi. Oleh sebab itu mereka tak jemu-jemu menasehati anaknya agar rajin belajar, mematuhi peraturan dan perintah guru yang pada umumnya juga diharapkan oleh guru.
Harapan atau aspirasi orang tua tentang anaknya juga bergantung pada tingkat sosialn orang tua. Orang tua di pedesaan yang memerlukan tenaga anaknya dalam perjuangan hidup tidak begitu mementingkan pendidikan formal atau mereka memilih sekolah yang dalam waktu singkat mempersiapkan anak itu untuk suatu pekerjaan. Bila tenaga anak diperlukan dengan sendirinya orang tua mempunyai pandangan yang lain tentang kerajinan belajar, soal bolos, prestasi belajar, disiplin, dan sebagainya.
Karena oranng tua mengutamakan prestasi akademis da perkembangan intelektual mereka tidak terlampau mementingkan perkembangan pribadi dan sosialisasi anak. Bahkan mereka melihat bahaya dan kerugian bila anaknya terlampau banyak berteman karena menyimpangkan perhatian anak dari pelajaran sekolah.
3)      Apa Yang Diharapkan Oleh Murid-Murid
Di sekolah anak-anak harus menyediakan diri dengan teman-temannya. Harapan teman-teman factor utama dalam proses sosialisasi di sekolah. Anak-anak kelas rendah SD masih mengikuti norma-norma yang ditetapkan oleh guru dan orang tua. Apa yang dikatakan oleh guru, itulah yang tidak dapat dibantah oleh orang tua. Tetapi murid sekolah menengah lebih cenderung mengikuti harapan teman-temannya daripada orang tua. Apa yang diharapka oleh teman-temannya sering berbeda dengan harapan orang tua. Guru memandang anak sebagai pelajar. Sebagai pelajar ia harus memusatkan seluruh perhatiannya kepada pelajaran untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Bagi guru dan orang tua angka tinggi menjadi kebanggaan yang patut diberi pujian. Tak demikian pendapat para pelajar sendiri. Menjadi kutu buku bukan kehormatan. Menjadi juara kelas bukan cita-cita. Bagi pelajar angka sedang sudah memadai namun tidak ada yang menginginkan tinggal kelas.
Yang dipentingkan para pemuda adalah agar pandai bergaul, dapat berhubungan dengan teman-teman dalam suasana gembira. Karena itu mereka peka terhadap keinginan dan harapan teman-temannya. Apa yang diinginkan oleh teman-teman akan berbeda dari sekolah ke sekolah, dari zaman ke zaman.
Mereka tidak menyukai anak yang sombong, angkuh, memamerkan kelebihannya dalam ucapan, sikap, atau pakaiannya. Anak muda yang diantar dengan mobil mewah ke sekolah tidak akan disukai teman-temannya.
Juga mereka tidak menyukai murid yang menunjukan dirinya sebagi anak yang paling pintar, juara atau jagoan. Bila ia memang pandai, juara atau jago biarlah orang lain yang mengatakannya dan bila itu dikatakan kepadanya dia harus menolaknya. Pemuda ini tidak menyukai orang yang menyimpang kelakuannya dari apa yang diterima oleh kelompoknya itu. Anak yang kelewat alim tentang seks atau moral akan dicemoohkan namun mereka menentang pelanggaran susila.
Bagi pemuda pakaian soal penting. Mereka mengharapkan teman-temannya berpakaian sesuai dengan mode yang berlaku di kalangan mereka. Dalam ini orang tua harus mengalah karena mereka tidak dapat menentang mode pemuda, sekalipun dianggap ganjil, aneh, bahkan jelek oleh orang tuanya. Pakaian harus biasa. Mereka yang berpakaian terlampau rapi akan mendapatkan ejekan. Pakaian itu tak perlu mahal, asal sesuai dengan mode yang berlaku.
Pemuda umunya menghargai prestasi dalam bidang olahraga atau musik. Mereka yang berprestasi tinggi dalam bidang ini menjadi popular asal jangan menjadi sombong dan menganggap dirinya lebih jago dari orang lain. Sikap anggapan jago sangat tidak disukai di kalangan pemuda dan sering mengundang perkelahian.

Maka bagi mereka yang mencapai prestasi akademis tinggi seperti yang diharapkan oleh guru dan orang tua timbul kesulitan agar juga disenangi oleh teman-temannya. Mereka yang gagal memenuhi kedua macam harapan itu akan mengalami gangguan dalam proses sosialisasi. Dengan bersikap tanpa menonjolkan diri kedua harapan itu dapat dipertemukan. Baik angka-angka maupun pergaulan dengan teman sebaya penting bagi setiap siswa. 
Title: Guru Sebagai Model; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar